Sabtu, 25 Desember 2010

Keranjang Puisi

Serakah

Berulang kali kau ulangi
Janji-janji yang tak pernah terbukti
Bicara di atas mimbar bagai terpuji
Sedangkan di luar kau berbuat keji

Apa yang tersembunyi dibalik kata-kata mu
Apa yang tersembunyi dibalik janji manismu
Semua hanya barang rongsokan di pinggir jalan
Kotor, bahkan lebih kotor dari kotoran hewan

Setiap musibah yang terjadi pada kami
Kau gunakan untuk kepentingan pribadi
Dengan dalih keprihatinan dan kemanusiaan
Kau bohongi kami secara perlahan-lahan

Tak cukupkah kekuasaan yang telah diamanatkan padamu
Tak puaskah kau miliki mobil mewah dan uang melimpah
Hingga tangisan dan darah kami kau mabil juga
Demi nama besar dan kesombongan yang kau banggakan
Sampai kapan keserakahan akan kau taburkan
Sampai kapan kebohongan akan kau sebarkan
Tak sadarkah kau pada penderitaan yang kami lamai
Hingga kau ingkari semua yang terjadi

Pantaskah

Jauh dari mata kami yang tak setahta
Melongok jeruji kumpulan besi dari tangan-tangan pandai
Di singasana dikediaman para raja
Pantaskah…
Apa yang ada dibenakmu wahai penghuni kursi yang agung
Tahukah engkau kami rela duduk tak berkursi hanya untuk membuatmu duduk
Nafas kami telah habis tengelam oleh keringat kami untuk menambang
Membangun singasanamu untuk beribu harap
Sebegitu pantaskah untuk semua itu…?

Untuk sebuah kesombongan

Ketika senjata itu melayang
Melukai jiwa yang beterbangan
Bersimbah darah dengan luka menganga
Ketiak ketajamannya menyayat rintihan jiwa-jiwa manusia
Korban-korban tak berdosa
Berteriak seperti binatang katakutan
Menggetarkan kesunyian

Tapi jutaan senjata itu terus menembus
Menengguk rasa hampa darah-darah
Menciumnya seperti mentari menjilati bumi
Tanah-tanah yang msih memerah
Bercampur debu kesombongan
Begitu sunyi alam yang teramat indah
Tatkala kebisingan senjata
Berubah menjadi nyanyian sendu
Saat jasad manusia kembali menjadi abu

Aventurs.....

Aku dilahirkan dari butiran kecemasan
Saat abjad mengeja makna
dulu, ketika manusia tak mengenal kata

Aku dilahirkan
hingga zaman bermuram derita
tak lagi ramai berebut dupa

Aku dilahirkan
Dengan mata tertatih pada bayang-bayang,
Pada tanah yang teramat gersang

Aku dilahirkan
agar mereka bisa terus mengagumi paras dunia
hingga tanah memerah disudut cinta

Aku dilahirkan
Dalam labirin keangkuhan waktu
Saat mengukir syahwat yang teramat kaku

Aku dilahirkan
Dalam canda tawa
Dalam kepingan bisu alam semesta

Saturday, 5-6-`10


Ruang Cahaya
Di sepertiga malam yang terakhir ini,
aku mencoba menguak dimensi ruang dan waktu
Sejenak meninggalkan jubah kesombongan yang terurai
Dan gairah-gairah semu yang didalangi oleh guratan nafsu
Sedapat mungkin aku bertahan meski semilir angin terus menggodaku

Aku melayang mengikis tipisnya udara yang menghalangi lajuku
Menerkam dedaunan yang semakin layu
Aku menerawang dan menembus serpihan harapan yang tersisa
Mengisi bejana mimpi dengan sebuah perenungan baru

Akan kucoba anyam segalanya
Hingga menjadi selembar tikar yang bisa diduduki
untuk sebuah peghambaan panjang
Akupun mulai menyelami dangkalnya praduga
Kemudian menyeretnya bersama buih ombak hingga sampai ke tepian hati

Akupun berjalan diantara puing-puing jaman yang kian gelap
Menyusuri lembah kegalauan yang terjerembab
Melaju tanpa arah yang semakin dalam
Hilang dibalik dekapan mesra beribu-ribu cahaya

Memancar disudut singgasana yang terpantulkan oleh lembaran metafora
Hingga akhirnya aku sampai pada ruang yang terang
Yang menampakan bermiliyaran cahaya yang teramat terang

Aku luluh dihantam keriangan
Aku tertunduk dilumuri ketakjuban
Saat mencerna kekuasan Sang Maha Kuasa
Yang tak pernah berhenti menebar cinta

Rangkasbitung, 05-07-`09


Selaksa Pengharapan

Secercah embun membasahi rerumputan di pagi hari
Menerobos lautan cinta antara ambisi dan nestapa
Di jurang pengampunan aku bersimpuh
Meminta penghapusan akan dosa-dosa
Yang ku lakukan dikala muda

Beribu dzikir teucap
Berlembar takbir menggema
Menancapkan nada-nada penyerahan pada Sang Maha Agung
Yang mencipta semesta dengan kuasaNya

Tak terasa air mata meleleh di pelupuk mata
Saat hati tak kuasa mengingat dosa
Ingin rasanya bertemu sang kuasa
Bersimpuh pada kasih sayangNya

Semilir angin bertiup membawa pesona
Selaksa seruling yang mencipta nada kehidupan
Membahana ke penjuru jagat raya
Saat umat terlelap di pangkuan nafsu dunia

Jambu, 29 Juli, `09


Cahaya Subuh

Betapa pun kulukiskan keagunganMu Tuhan
KekudusanMu tetap meliputi semua arwah
Temaram lampu di tengah lautan
Tak akan mampu menandingi cahaya subuh-Mu
Di kala manusia terlena oleh tidurnya
Dipangkuan iblis kemalasan
Aku paksa jiwa ini untuk merayuMu
Melalui zikir yang melelehkan nafsuku
Kurunut kata-kata agung untuk Mu
Diterangnya cahaya surya
Diluasnya ahmparan pengampunanMu
Agar aku bisa sampai ke ma`rifatMu
Langkah-langkah syaitan jahanam
Selalu membawaku ke arah kemunafikan
Mendekatkanku ke panji kesombongan
Keangkuhan yang penuh kepadaMu
Tuhan, ribuan sujud akan ku persembahkan
Jutaan zikir akan aku lelehkan
Di pusara keabadianMu

Jambu, Januari 2007

Kepasrahan Hati

Saat langit mengukir muara dengan cinta
Air mataku tiada lagi pernah mengeja semua derita
Sementara angin berhembus mendekap selirih perih
Dalam bingkaian waktu, diriku merindu surgamu
Hingga sujud yang kugelar, berkelidan di bukit senjamu
Tuhanku, bila batu-batu bermekaran di kaki fajar
Dan ababil melabuhkan jerujinya dalam amarah yang sangar
Berikanlah diri hamba ketabahan mengais magfirah
Tuhanku, dalam bentangan kawah jiwaku
Dosaku lebih banyak membasahi tubuhku
Saat surya bercahaya kelabu di lembaran kisahku
Tuhanku, dirimu yang abadi mengemasi hari-hariku
Melukis tingkah lakuku di padang mahsyar itu
Sunyi senyap menghimpit jantungku
Malam suram mengubur deru darahku
Hingga pagi membungkus seluruh desahku
Tuhanku, bila hujan reda dan kemarau tiba
Aku masih ingin menjadi hambamu
Menerjemahkan kalimat syahadat
Mengulum do`a disetiap jari jemari shalat

Bisikan Jiwa

Aku adalah jiwa yang kering kerontang
Bagai angkara murka menggunting maksiat
Dari anganku yang kian membangsat
Hingga air mata berjatuhan di malam yang pekat
Tuhanku, inilah bahasa yang aku punya
Bagaimana kau meminta bukan dengan do`a
Aku tidak punya apa-apa
Untuk aku persembahkan padamu
Bahkan jiwaku yang usang adalah nol besar bernilai kosong
Jika kuhadapkan padamu
Tuhanku, hidup ini hanyalah sehasta langkah untuk menujumu
Menuju mahligai cinta darimu
Tapi mengapa aku terlalu sibuk dengan dunia
Yang kian menipu
Apakah aku telah kehilangan dirimu
Tuhanku, jika benar keadaan kita telah berjauhan tolong tunjukan padaku
Jalan yang harus ku lalui
Tuk sampai pada labuhan cintamu
Tuhanku, jangan biarkan diriku terpanggang
Di pulau keterasingan ini




Kesunyian Jiwa

Dikala batinku terkoyak oleh cakaran dunia
Gema takbir di ruang sunyi
Mengusir usikan api yang merah seperti darah
Melukis samudera di derasnya ombak yang kelam
Dan debu bertaburan dalam bongkahan kerikil-kerikil yang tajam
Hai sang fajar
Jangan sampai merahmu kau campur dengan biru
Sebelum aku obati luka-luka di tubuh ini
Akan kuhampar sajadah selebar lautan
Dan akan kudendangkan lagu tentang kerinduan, kecintaan,
hingga kekaguman pada sang ilah, sang maha penguasa.
Tak kan kuhiraukan bibir bergetar
Seperti angin membawa badai
Mengulas luka yang terkelupas
Oh tuhan, memang waktuku hanya untukmu
Walau waktu sibukan hidupku.

Kamis, 23 Desember 2010

Membangun Partisipasi Masyarakat dalam Anggaran

GERAKAN MAHASISWA ANTARA PERAN DAN IDENTITAS


Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.

Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.

Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.

Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa.

Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".

Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.

Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.

Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..

Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Dalam berbagai kesempatan selalu muncul kegelisahan yang mempersoalkan budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia. Memang harus diakui jika kedua hal itu belum menjadi perilaku, bahkan di kalangan masyarakat akademis sekalipun. Tidak hanya di lingkup siswa-siswa sekolah, guru pun jarang meningkatkan kapasitas dengan membaca dan menuangkan pemikiran lewat tulisan.

Rubrik Nguda Rasa Koran Merapi ini pun juga sering kali menyuguhkan opini terkait rendahnya budaya membaca dan menulis, baik di kalangan masyarakat umum maupun masyarakat akademis. Pada titik ini, penulis lebih menyoroti perilaku membaca dan menulis di kalangan mahasiswa.
Persoalan rendahnya budaya membaca dan menulis tidak melulu terjadi pada siswa sekolah, guru, dan juga dosen di perguruan tinggi. Mahasiswa yang disebut aktor inteletual pun memiliki permasalahan serupa. Mungkin di antara kita ada yang melontarkan tanya, apa yang ada di benak mahasiswa saat ini?

Terlalu pragmatis mungkin. Bukan untuk menggeneralisir, namun sekadar menegaskan adanya sebagian mahasiswa yang enggan berbudaya intelektual. Mahasiswa menulis biasanya dalam kondisi dikejar-kejar tugas kuliah. Menyusun makalah karena ada kewajiban kuliah yang harus ditunaikan.

Bahkan, tugas paper yang dibuat pun tinggal copy-paste tanpa analisis kritis dan penuangan pemikiran orisinal mahasiswa. Bisa dikatakan mahasiswa zaman sekarang seakan-akan malas menulis. Membaca pun malas. Lagi-lagi karena ada mid semester dan ujian akhir, mahasiswa bersedia membaca. Bahkan, mahasiswa menyempatkan diri ke perpustakaan jika ada tugas-tugas kuliah. Lebih dari itu, budaya contek-mencontek telah mengakar kuat setiap kali ujian tiba.

Ini berarti kebiasaan mempelajari ilmu dan membaca tampak minim di kalangan mahasiswa. Membaca dan menulis sedikit banyak telah hilang dari peredaran aktivitas mahasiswa. Diminta diskusi pun mahasiswa tak ada keinginan. Kelompok-kelompok diskusi di kampus boleh dibilang minim, bahkan hampir tidak ada. Kalau bicara ideal, satu fakultas seharusnya ada satu komunitas diskusi. Tidak hanya satu komunitas diskusi, tetapi setiap jurusan di fakultas setidaknya perlu memiliki komunitas diskusi.

Harus jujur diakui, mahasiswa telah terjebak pada budaya-budaya nir-intelektual. Apa yang dibicarakan di kampus tak jauh dari ngrumpi tiada arah. Coba tanyakan kepada setiap mahasiswa perihal berita-berita aktual hari ini. Apa perkembangan politik di dalam negeri? Ada permasalahan dan wacana hangat apa hari ini? Pasti tidak banyak mahasiswa yang merespons dengan baik.

Mereka seolah-olah gagap jika berbicara masalah sosial, politik atau pun permasalahan bangsa lainnya. Minimnya budaya membaca mahasiswa termasuk jarangnya mengakses berita-berita di surat kabar. Memang di organisasi kemahasiswaan banyak yang berlangganan surat kabar harian, namun amat sedikit yang membaca. Surat kabar seringkali tergeletak tanpa dihiraukan sedikit pun.

Disadari atau tidak, ada yang hilang dari budaya mahasiswa. Mahasiswa sebagai aktor intelektual telah kehilangan identitasnya. Tentu kita paham betul terkait peran iron stock (cadangan keras) yang disandang mahasiswa. Peran iron stock menegaskan bahwa mahasiswa adalah calon-calon pemimpin bangsa yang kelak mengendalikan kepemimpinan di negeri ini. Nah, bagaimana mungkin calon-calon pemimpin bangsa jarang, bahkan tidak pernah “membaca” Indonesia saat ini? Hal ini tentu saja penting karena pengalaman dan kejadian bangsa saat ini merupakan pelajaran untuk hari esok.
Mahasiswa harus terlibat secara intelektual dan emosional terhadap seluk beluk permasalahan bangsa saat ini. Kehadiran psikologis amat diperlukan agar mahasiswa tidak jauh dari realitas bangsa. Mahasiswa harus merasakan permasalahan bangsa sekaligus memberikan kontribusi secara intelektual. Nah, keterlibatan secara intelektual dan emosional tidak mungkin tercapai jika tidak ada budaya membaca, menulis, dan juga diskusi. Ada satu sisi lain yang juga layak dikemukakan.

Dalam hal ini, penulis mencoba menyinggung gerakan mahasiswa. Tersimpan harapan kepada gerakan mahasiswa untuk tidak hanya mengandalkan solusi “jalanan” alias turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Artinya, harus ada perubahan pola gerakan dari “jalanan” ke pemikiran. Turun ke jalan memang diperlukan, tetapi jangan terjebak pada aksi-aksi demonstrasi an sich. Biasanya aksi-aksi demonstrasi lebih bersifat reaktif daripada menyodorkan solusi strategis. Ya, inilah harapan yang ditujukan kepada gerakan mahasiswa. Lalu, apa itu gerakan pemikiran?

Selain membaca, gerakan pemikiran adalah dengan menulis. Jujur diakui bahwa budaya menulis juga masih sangat rendah di kalangan aktivis gerakan mahasiswa. Hanya segelintir aktivis mahasiswa yang menulis, baik dipublikasikan lewat media massa maupun dalam bentuk buku. Bahkan, mahasiswa-mahasiswa yang menulis di media massa malah jarang berasal dari gerakan mahasiswa.

Diskusi di lingkup gerakan mahasiswa pun ibarat angin lalu. Banyak gerakan mahasiswa menggelar diskusi publik dan sedikit sekali peminatnya. Lebih tragis lagi, diskusi tersebut malah tidak diikuti oleh kalangan internal gerakan mahasiswa itu sendiri. Tampaknya aktivis gerakan mahasiswa sedikit banyak suka turun ke jalan daripada menikmati pergumulan pemikiran. Selain itu, amat jarang gerakan mahasiswa yang memiliki media jurnalistik. Jika memiliki media jurnalistik, terbitnya pun berkala. Suatu kala terbit dan suatu kala tidak terbit. Jarang ada aktivis gerakan mahasiswa yang bersedia menggarap media jurnalistik.

Hampir di setiap gerakan mahasiswa, media jurnalistik kurang terurus dengan baik Dengan demikian, gerakan mahasiswa perlu melakukan perubahan pola gerakan dari “jalanan” ke pemikiran meskipun tidak meninggalkan aksi demonstrasi sama sekali. Gerakan mahasiswa tidak melulu menampilkan aksi-aksi demonstrasi, tetapi juga menumbuh suburkan budaya menulis untuk menyampaikan aspirasi dan pemikiran.

Gambaran di atas merupakan sekelumit wajah mahasiswa zaman sekarang. Sekali lagi, hal tersebut diungkapkan bukan untuk menggeneralisir, tetapi membuka mata kita terhadap realitas kehidupan mahasiswa. Perubahan biasanya berawal dari kegelisahan. Adakah yang gelisah? Minimal mahasiswa harus gelisah, bukan orang lain yang dituntut gelisah. Dari kegelisahan, mahasiswa bertanggung jawab untuk membangkitkan kembali “budaya-budaya intelektual yang hilang dari rimbanya”. Wallahu a’lam, bish-shawab.(*)






Rabu, 22 Desember 2010

Problematika Demokrasi

HATI-HATI… PRODUK BASI GLOBALISASI

Sebuah Refleksi Kehidupan

MEMBANGUN JIWA ISLAM

Inti Islam itu adalah gerakan pembebasan. Mulai dari hati nurani orang-perseorang dan berakhir di samudera kelompok manusia. Islam tidak pernah menghidupkan sebuah hati, kemudian hati itu dibiarkannya menyerah tunduk kepada suatu kekuasaan di atas permukaan bumi, selain
daripada kekuasaan Tuhan Yang Satu dan Maha Perkasa. Islam tidak pernah membangkitkan sebuah hati, lalu dibiarkannya hati itu sabar tidak bergerak dalam menghadapi keaniayaan dalam segala macam bentuknya, baik keaniayaan ini terjadi terhadap dirinya, atau terjadi terhadap sekelompok manusia di bahagian dunia manapun saja, dan di bawah penguasa manapun
juga.

Islam adalah aqidah revolusioner yang aktif. Dalam arti: kalau ia menyentuh hati manusia dengan cara yang benar, maka dalam hati itu akan terjadi suatu revolusi: revolusi dalam konsepsi, revolusi dalam perasaan, revolusi dalam cara menjalani kehidupan, dan hubungan individu dan kelompok. Revolusi yang berdasarkan persamaan mutlak antara seluruh umat manusia. Seorang tidak lebih baik dari yang lainnya selain dengan taqwa. Berdasarkan kehormatan manusia yang tidak meninggalkan seorang makhlukpun di atas dunia, tidak suatu kejadian pun, dan tidak suatu nilaipun. Revolusi itu berdasarkan keadilan mutlak, yang tidak dapat membiarkan ketidak-adilan dan siapapun juga, dan tidak dapat merelakan ketidakadilan terhadap siapapun juga. Baru saja manusia merasakan kehangatan aqidah ini, ia akan maju ke depan untuk merealisasikannya dalam alam nyata dengan seluruh jiwanya. Ia tidak tahan untuk bersabar, untuk tinggal diam, untuk tenang-tenang saja, sampai ia benar-benar telah menyelesaikan realisasinya di alam nyata. Inilah pengertiannya bahawa Islam itu suatu aqidah revolusioner yang aktif-dinamis.

Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh, kemudian mereka orang-orang yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah yang tinggi. Kalimat Allah diatas bumi ini tidak akan dapat tertegak, selain kalau ketidakadilan dan keaniayaan telah dihilangkan daripadanya, sampai seluruh manusia itu memperoleh persamaan seperti gigi sisir, di mana tidak ada salah seorangpun yang lebih dari orang lain selain kerana ketaqwaan. Orang-orang yang melihat ketidak-adilan di sepanjang jalan, dan bertemu dengan kesewenang-wenangan di setiap saat, dan mereka tidak menggerakkan tangan mahupun lidah, padahal mereka itu mampu untuk menggerakkan tangan dan lidah, mereka ini adalah orang-orang yang hatinya tidak digugat oleh Islam. Jika hatinya tergugat oleh Islam tentulah mereka akan berubah menjadi para mujahidin yang berjuang mulai dari saat api yang suci itu menyentuh hati-hati yang rasional dan menyalakannya, dan mendorongnya dengan dorongan yang kuat ke medan perjuangan. Jika seandainya jiwa nasionalisme mampu ia dorong kita sekarang ini untuk berjuang menentang penjajahan yang dibenci itu, jika seandainya jiwa kemasyarakatan mampu mendorong kita hari ini untuk berjuang menentang kaum feodal yang tidak berbudi dan kapitalisme yang memeras, jika seandainya jiwa kebebasan individu mampu untuk mendorong kita sekarang ini untuk berjuang menentang diktator yang melampaui batas dan ketidakadilan yang congkak, maka jiwa Islam mengumpulkan penjajahan, feudalisme dan kediktatoran di bawah sebuah nama, yaitu: ketidakadilan.

Jiwa Islam mendorong kita semua untuk memerangi segalanya itu, tanpa fikir-fikir dan tanpa ragu-ragu, tanpa pembicaraan lagi dan tanpa dibeda-bedakan lagi. Itulah salah satu ciri Islam yang besar di bidang perjuangan manusia untuk menegakkan kemerdekaan, keadilan dan kehormatan. Seorang Islam yang telah merasakan jiwa Islam dengan hatinya, tidak mungkin akan memberikan pertolongan kepada pihak penjajah, atau memberikan bantuan kepada mereka, atau berdamai dengan mereka seharipun, atau berhenti berjuang melawan mereka baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang terangan. Pertama-tama ia akan menjadi pengkhianat bagi agamanya, sebelum menjadi pengkhianat terhadap tanah airnya, terhadap bangsanya dan terhadap kehormatan dirinya. Setiap orang yang tidak merasakan adanya rasa permusuhan dan kebencian terhadap kaum penjajah dan tidak melakukan perjuangan menentang mereka sekuat tenaga, adalah pengkhianat. Lalu bagaimana dengan orang yang mengadakan perjanjian persahabatan dengan mereka? Bagaimana dengan orang yang mengadakan persekutuan abadi dengan mereka? Bagaimana dengan orang yang memberikan bantuan kepada mereka baik di zaman damai maupun di zaman perang? Bagaimana dengan orang yang membantu mereka dengan makanan sedangkan bangsanya sendiri kelaparan? Bagaimana dengan orang yang melindungi dan menutup-nutupi mereka?

Seorang Islam yang merasakan jiwa Islam dengan hatinya tidak mungkin akan membiarkan kaum feudal yang tidak bermoral dan kaum kapitalis yang menindas itu berada dalam keamanan dan ketenteraman. Ia akan membukakan perbuatan mereka yang tidak bermalu. Ia akan menjelaskan kejelekan-kejelekan mereka. Ia akan berteriak di depan muka mereka yang tidak bermalu itu. Ia akan berjuang menentang mereka dengan tangan, dengan lidah dan dengan hati, dengan segala cara yang dapat dilakukannya. Setiap hari yang dilaluinya tanpa perjuangan, setiap saat yang dilaluinya tanpa pergelutan, dan setiap detik yang dilaluinya tanpa karya nyata, dianggapnya sebagai dosa yang menggoncang hati nuraninya sebagai kesalahan yang membebani perasaannya, sebagai suatu perbuatan yang hanya dapat dihapuskan dengan perjuangan penuh dorongan, penuh kehangatan, penuh tolakan. Setiap orang Islam yang merasakan Islam dengan hatinya tidak akan mungkin membiarkan diktator yang aniaya serta penguasa zalim yang tidak bermalu bergerak di atas permukaan bumi, menjadikan manusia budak beliannya, padahal tiap-tiap manusia dilahirkan oleh ibunya sebagai orang yang merdeka. Tetapi orang Islam itu akan maju ke depan dengan jiwa dan hartanya, untuk memperkenankan seruan Tuhannya yang menciptakannya dan memberi rezeki kepadanya:

“Kenapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan untuk kepentingan orang-orang yang tertindas, yang terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak kecil, yang berkata: Wahai Tuhan Kami! Keluarkanlah kami dari negara yang penduduknya aniaya ini. Berikanlah kepada kami seorang penolong dari sisiMu. Berikanlah kepada kami seorang pembantu dan sisiMu.”
(An-Nisa’: 75)

Semua prinsip yang terdapat di atas dunia ini, semua jalan pemikiran yang terdapat di atas dunia ini, akan mengambil jalan yang berbeza-beza, masing-masingnya mencari bidangnya sendiri-sendiri, untuk merealisasikan keadilan, kebenaran dan kemerdekaan. Tetapi Islam berjuang di segala bidang itu. Ia mencakup seluruh gerakan pembebasan. Ia menggerakkan seluruh pejuang.
Kalau orang-orang yang mempunyai prinsip dan jalan pemikiran mendasarkan kekuatannya kepada kekuatan dunia yang cepat hilang, Islam mendasarkan kekuatannya kepada kekuatan azali dan abadi. Orang orang Islam melakukan perjuangan dengan hati yang penuh rindu untuk mencapai syahid di bumi, agar ia beroleh kehidupan di langit:

“Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang yang beriman, dengan janji bahawa mereka itu akan mendapat syurga. Mereka berjuang di jalan Allah. Mereka membunuh dan terbunuh. Ini adalah suatu janji yang benar yang terdapat dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih memenuhi janji dari Allah?”
(At-Taubah: 111)

KEBIJAKAN PUBLIK ; ANTARA KUASA PEJABAT DAN PARTISIPASI RAKYAT

Selasa, 21 Desember 2010

Rekonstruksi Pendidikan Islam

Secara umum, meski terkesan ex post factum, pendidikan agama kita masih berkutat pada grand design pembangunan agama yang diterapkan pemerintah Orde Baru. Logika yang digunakan adalah pembangunan agama selalu berpatokan pada angka-angka statistik. Contoh sederhana terlihat pada fakta seringnya pemerintah (baca: Orde Baru) ‏‏membangga-banggakan ‏‏pesatnya pembangunan rumah ibadah sebagai indikator keberhasilan ‏pengem‏bangan mental-spiritual masyarakat. Dari tinjauan aspek material, fakta ‏itu sulit untuk dibantah. Tetapi kalau diamati dari ‏‏sudut non-materialnya terlihat adanya ketimpangan dan paradoks.

‏‏Pertanyaan simpel yang mengemuka; Mengapa ‏‏misalnya segala bentuk penyelewengan, ‏korupsi, kolusi dan ‏‏nepotisme berkembang tak kalah cepat dengan laju pembangunan rumah ibadah? Mengapa ‏pelbagai tindakan intoleransi, perusakan dan ‏‏ pembakaran rumah ibadah bukannya menurun intensitasnya, tapi malah melonjak grafiknya? Bukankah pesan-pesan moral yang disampaikan ‏‏melalui rumah ‏‏ibadah ‏itu sarat dengan semangat ‏‏penghormatan terhadap rumah ibadah agama lain? Ogburn (1964) menyebut gejala ini dengan istilah malintegration ‏‏(kekurangan ‏‏atau ketimpangan ‏‏integrasi) ‏‏antara unsur-unsur kebudayaan yang bersifat material dengan unsur-unsur yang non-material. ‏‏Sementara unsur-unsur ‏material ‏‏cende-rung berkembang ‏‏secara ‏‏linier, ‏‏pada unsur-unsur ‏‏kebudayaan ‏‏yang bersifat ‏‏non-material berkembang secara ‏‏siklikal ‏‏Akibatnya, unsur-unsur kebudayaan non-material ‏‏seperti mentalitas, moral, kebiasaan, tata cara dan pola-pola interaksi relatif ‏tertinggal ‏‏dari unsur-unsur kebudayaan ‏‏yang ‏‏bersifat material.

Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik. Maka, seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan.

Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Hal di atas dapat dibuktikan dari sistem pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan agama sebagai pheriperi, sementara ilmu-ilmu yang menunjang pembangunan ekonomi sajalah yang diposisikan sebagai episentrum kurikulum nasional. Pendidikan agama dianggap kurang prospektif dan kurang mendukung bagi pengembangan kebudayaan material. Proses pendidikan direduksi sedemikian rupa sehingga hanya dilihat sebagai investasi belaka yang diukur dari marketable-tidaknya output (lulusan) yang ada dengan pangsa tenaga kerja yang dibutuhkan. Fenomena malintegration ini pulalah yang kemudian membuat pendidikan agama kita hanya diisi dengan pengetahuan fiqhiyyah yang bersifat kasat mata. Sementara nilai-nilai, moral, kebiasaan dan etika universal yang mendukung apresiasi siswa terhadap pluralisme keagamaan menjadi diabaikan karena bersifat abstrak, di samping karena waktu pengajaran agama yang sangat terbatas yang tidak memungkinkan seluruh aspek keagamaan dapat diajarkan.

Dalam situasi politik kebudayaan yang demikian, makna pendidikan rentan direduksi atau didistorsi menjadi sekadar pengajaran. Padahal, Pembukaan UUD 1945 —bagian dari konstitusi kita yang dianggap paling bertuah daripada batang tubuhnya sendiri— disebutkan poin utama pendidikan kita adalah “....untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ini jelas mengandaikan adanya transformasi nilai-nilai yang positif yang melampaui dari peran yang dimainkan sekolah. Menurut Azyumardi Azra, perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu negara-bangsa (state-nation) dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga benar-benar siap menyongsong kehidupan. Totalitas pendidikan, dalam konteks ini, meliputi semua jenis pendidikan: “informal,” “formal,” dan “non-formal.” Ketidakberdayaan sistem pendidikan kita secara umum terletak pada penyempitan makna pendidikan sekadar menjadi pengajaran yang kental nuansa formalnya.

Menurut Soejatmoko, pencarian abadi kebenaran (the eternal search for truth) dan seni penemuan (the art of discovery) yang lazim ditemui dalam proses pendidikan, akan semakin mudah terwujud bila hubungan antara guru dan peserta didiknya terjalin secara informal. Inilah hubungan “magang”, atau meminjam istilah Soedjatmoko: master apprentice, yang membuat relasi guru dengan peserta didiknya bagaikan “teman diskusi” yang mengasyikkan. Secara master-apprentice, peserta didik tidak diposisikan sebagai subordinat dan obyek ilmu yang melulu harus disuapi, digurui. Hubungan guru dan peserta didik tidak terstruktur secara hierarkis (atas-bawah) seperti layaknya kiai dan santri yang sarat patrimonialisme.

Dalam konteks ini, sinyalemen Paulo Freire, sarjana yang terkenal dengan konsep “penyadaran” (conscientization) untuk mendidik kaum tertindas, tentang pendidikan “gaya bank,” menemukan relevansinya. Dalam magnum opus-nya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menjabarkan apa yang disebut dengan istilah pendidikan gaya bank itu dengan mengambil analogi tentang celengan-celengan yang minta diisi. Dalam hal ini, peserta didik diibaratkan seperti bejana atau celengan menjadi “bejana-bejana”. Maka, semakin penuh isi wadah/bejana, makin berkualitas pulalah guru yang bersangkutan. Sebaliknya, makin patuh bejana itu untuk sudi diisi oleh guru, maka semakin baik pulalah murid itu. Yang terjadi adalah indoktrinasi, bukan proses komunkasi, apalagi dialog multi-arah. Murid harus menelan mentah-mentah apa yang dikatakan guru, tanpa reserve.

Dengan demikian, pendidikan “gaya bank” mengarahkan proses pendidikan yang semula luhur menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid ialah celengannya dan guru adalah penabungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi murid sekadar menerima, mencatat dan menyimpan (pasif). Dalam konsep pendidikan “gaya bank,” menurut Freire, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada murid yang divonis tidak berpengetahuan apa-apa. Freire bahkan secara vulgar menyebut hal itu sebagai ciri dari masih suburnya ideologi penindasan. Dan ujung-ujungnya nanti, pendidikan “gaya bank” sama saja berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.

Bukan mustahil bila kondisi memprihatinkan tersebut tidak segera diantisipasi, maka akan berkembang suatu gejala pemolaan yang merupakan unsur dasar dari adanya penindasan terhadap kaum tertindas. Artinya, perilaku kaum tertindas adalah perilaku terpola sesuai dengan yang digariskan penindas. Akibatnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum tertindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut menjadi bebas (fear of freedom). Guru yang memiliki naluri menindas, dalam hal ini, berhasil melanggengkan memori ketakutan dengan wewenang yang dimiliki: standarisasi nilai, cap baik-buruk dan lain-lain yang pada akhirnya nanti membuat siswa berpikir seribu kali untuk sekadar bertanya, apalagi menyanggah dari penjelasan gurunya.

SOLUSI FUNDAMENTAL

Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.

Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .

Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.

Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Solusi pada Tataran Paradigmatik.

Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.

Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.)

Solusi pada Tataran Strategi Fungsional

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumberdaya guru/dosen.

Membangun Demokratisasi Pendidikan

Pendidikan sebagai suatu proses pembentukan karakter manusia yang mengarah pada kemandirian hidup, memerlukan suatu penataan yang matang dan terencana. Oleh karenanya, peran pendidikan senantiasa diarahkan pada upaya peningkatan kualitas manusia. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa, akan sangat bergantung pada kondisi sumber daya manusia yang cukup tinggi, sehingga dalam realitasnya dibutuhkan pola penyelenggaraan pendidikan yang mampu mengakomodir tuntutan kebutuhan lingkungan dan masyarakat.

Pendidikan harus memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan. Perlakuan proses penyelenggaraan pendidikan harus di arahkan pada keberagaman potensi individu peserta didik, dimana mereka diberikan kebebasan untuk mampu mengekspresikan diri dalam potensi berpikir, bertindak, dan berinovasi.
Prinsip kebijakan dari bawah ke pucuk pimpinan, dalam dunia pendidikan memberikan konsekuensi terhadap keterlibatan aktif seluruh komponen peserta didik, orang tua, tenaga kependidikan, kepala sekolah, masyarakat, dan pemerintahan setempat. Keadaan ini mencerminkan berlakunya asas desentralisasi melalui prinsip penerapan otonomi daerah.

Bentuk partisipasi dalam demokrasi pendidikan adalah berusaha melibatkan diri dalam proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan pengawasan mutu pelayanan pendidikan. Hal ini sebagaimana prinsip yang diterapkan dalam manajemen berbasis masyarakat (School based community).

Demokrasi pendidikan pada hakikatnya harus dilaksanakan atas prinsip memperhatikan kebutuhan perkembangan tuntutan masyarakat dan lingkungan. Di sisi lain, pendidikan dalam era demokrasi memberikan wahana bagi pembentukan nasib dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, dalam implementasinya, pendidikan akan diarahkan pada kebijakan yang lebih transparan, serta memiliki komitmen bagi akuntabilitas publik.
Secara umum, kondisi masyarakat dalam melihat peran pendidikan hanya sebatas strategi formalistik untuk memperoleh gelar tertentu. Di sisi lain, peran pendidikan pun masih belum banyak menyentuh terhadap kebutuhan masyarakat secara riil, sehingga pendidikan sering dinobatkan sebagai ‘menara gading’ di tengah keberadaan komunitas tertentu. Rendahnya keperdulian masyarakat terlihat dari menurunnya tingkat partisipasi terhadap standar kualitas yang diinginkan, baik secara fisik maupun bobot lulusan. Pendidikan sering dipandang hanya sebatas tanggung jawab pemerintah, padahal pendidikan yang bermutu sangat memerlukan peran aktif seluruh komponen masyarakat, baik dalam segi perancangan kurikulum, materi pembelajaran, proses pendidikan, dan pembiayaan.

Proses penyelenggaraan pendidikan masih menitikberatkan pada kondisi pembelajaran yang bersifat doktrinisasi. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh sistem sentralisasi kewenangan pada masa orde baru dalam membentuk sistem pendidikan sebagai komoditas politik dan ekonomi. Pada masa transisi dalam era reformasi, upaya memperbarui pola penyelenggaraan pendidikan ke arah demokrasi, nampaknya masih memerlukan waktu yang cukup lama, oleh karena dibutuhkan suatu langkah penyesuaian kebijakan sekaligus peran tenaga kependidikan dan manajemen sekolah yang mengerti terhadap prinsip dasar demokrasi pendidikan.

Komponen masalah yang terbesar dalam mengejar kualitas pendidikan bertumpu pada faktor pembiayaan. Untuk menumbuhkembangkan kondisi pembaruan pendidikan ke arah demokrasi tentu memerlukan biaya yang cukup besar, baik bagi kepentingan peningkatan kualitas tenaga kependidikan, maupun sarana pendukung proses pembelajaran

Peran serta masyarakat dalam kehidupan demokrasi merupakan persyaratan dalam menciptakan pemikiran positif serta proses penetapan kebijakan publik. Demokrasi dalam dunia pendidikan memberikan konsekuensi terhadap penerapan asasn desentralisasi, efesiensi pengelolaan, relevansi pendidikan, peningkatan mutu, serta pembiayaan yang harus ditanggung. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan akan terlihat dari seberapa besar prosentase keikutsertaan masyarakat dalam batasan umur peserta didik setiap jenjang program, disamping itu, peran masyarakat pun dapat ditujukan pada sikap keperdulian terhadap upaya memberikan kontribusi bagi pengembangan pendidikan, baik dari segi kuantitas, fisik, maupun kualitas pendidikan. Hal yang sepatutnya diterapkan dalam upaya menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat, adalah pengaturan kebijakan publik yang memberi peluang kepada masyarakat dalam menentukan model, materi, serta kualitas pendidikan sesuai kebutuhan tuntutan masyarakat dan lingkungan, sehingga peran pendidikan akan dijadikan sebagai landasan bagi peningkatan kemampuan potensi lokal serta pengembangan nilai-nilai kemasyarakatan.

Berlakunya demokrasi pendidikan secara inheren akan memberikan implikasi terhadap kemampuan masyarakat dalam proses perencanaan, dan pengawasan pelaksanaan pendidikan. Strategi penerapan demokrasi pendidikan membutuhkan komitmen pengambilan kebijakan yang mengarah pada konsekuensi kondisi demokratis. Dalam dunia pendidikan, alam demokratis lebih ditujukan pada nuansa kebebasan mimbar akademik, di mana seluruh komponen pendidikan memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat serta berpikir kritis terhadap pengembangan daya nalar. Demokrasi tentu saja dapat mambentuk karakter komponen masyarakat yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan perbedaan dalam keberagaman masyarakat. Oleh karena itu, inisiatif kebijakan yang demokratis dapat mencakup: kebijakan desentralisasi, konsekuensi kebutuhan SDM yang memadai, fasilitas penunjang pembelajaran yang cukup, serta mengarah pada aspek keberagaman potensi individual manusia.

Derasnya era globalisasi yang memberikan proses percepatan pembaruan sistem pendidikan, telah banyak menciptakan suatu tantangan sekaligus pula peluang dalam persaingan global. Penerapan demokrasi dalam sistem pendidikan nasional perlu memperhatikan aspek perkembangan dunia internasional, baik dalam proses pelaksanaan pendidikannya, maupun kualitas lulusan yang lebih universal. Kendati pendidikan diterapkan dalam mekanisme otonomi daerah dengan asas desentralisasi, namun prakarsa seyogyanya tetap melihat aspek standar kualitas global, sehingga diharapkan dalam perkembangannya mampu menciptakan inovasi baru baik dari segi pengetahuan, maupun kesenaian dan kebudayaan daerah yang mampu berperan dalam percaturan global. Pemikiran yang fundamental dalam kerangka demokrasi pendidikan menuju globalisasi adalah dengan prinsip the think globally at locally.

Paradigma pendidikan yang mengarah pada era demokrasi banyak memberikan konsekuensi logis dalam mempersiapkan kondisi masa transisi budaya. Masyarakat yang mengalami situasi demokrasi umumnya lebih menghargai perbedaan pandangan dan keberagaman status sosial. Demokrasi pendidikan tidak terlepas dari peran aktif seluruh komponen masyarakat dalam menentukan arah dan sasaran kulaitas yang diinginkan. Dengan kata lain, demokrasi pendidikan sangat terkait dengan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam menentukan kebijakan pendidikan, melalui mekanisme buttom-up.

Demokrasi pendidikan di Indonesia, dipengaruhi oleh suatu kondisi pluralisme masyarakat yang memiliki heterogenitas linguistik, budaya, agama, dan letak geografis. Sehingga keseragaman pola pendidikan yang pernah dilakukan pada pemerintahan orde baru, sangatlah tidak tepat, sehingga akan menciptakan karakter bangsa yang seba seragam. Oleh karenanya, pada era reformasi, demokrasi pendidikan mengalami pergeseran paradigma ke araha keberagaman. Bahwa setiap daerah memiliki potensi yang berbeda untuk dikembangkan, serta adanya komitmen terhadap pengakuan kebebasan berpikir, pendidikan sebaiknya mencoba memberikan kebebasan kepada setiap daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam menentukan kualitas kemampuan peserta didik serta pengembangan nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku.

Permasalahan yang dihadapi dalam demokrasi dan pendidikan adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan, rendahnya inisiatif kebijakan demokratis, serta tantangan era globalisasi. Adapun sintesis dan analisis yang diambil sebagai prinsip dasar pelaksanaan demokrasi pendidikan adalah adanya kesamaan hak dan kewajiban setiap warga negara, adanya arah kebijakan dilandasi oleh prinsip buttom-up, adanya partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat, berlakunya prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

Berbagai masalah serta hasil analisis dan sintesis, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menumbuhkan demokrasi diperlukan suatu pendidikan yang turut menunjang peningkatan kualitas masyarakat yang dapat memahami budaya demokras, serta pendidikan yang demokratis sangat ditunjang oleh sistem kenegaraan yang demokratis. Untuk menyerasikan muatan demokrasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah, diharapkan prakarsa kualitas pendidikan disamping harus memperhatikan potensi lokal yang dimiliki, juga harus mampu melihat peluang dan tantangan kebutuhan kualitas secara global. Hal tersebut diupayakan agar sistem pendidikan di Indonesia tidak hanya mampu berkiprah dalam pergaulan nasional, namun dalam era globalisasi perlu memperhitungkan persaingan secara internasional.

GERAKAN MAHASISWA ISLAM DALAM KONTEKSTUALISASI IDEOLOGI

Pendahuluan

Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki pengaruh signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam.
Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi, strategi dan lainnya.

Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu social. Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan yang akan dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia?

Ideologi Dalam Keterbatasan Akar Konseptual

Menurut Frans Magnis Suseno ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.

Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.

Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis

Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.

Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.

Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.

Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.

Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.

Pada konteks historis, dulu pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah cukup mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak disadari telah “memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana keagamaannya. Azyumardi Azra mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.

Ekspresi Politik Gerakan Mahasiswa Islam

Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa Islam terhadap kondisi sosial politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran. Aliran menurut Clifford Geertz ditandai oleh beberapa ciri. Pertama, aliran adalah suatu gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan politik. Kedua, walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita moral yang lebih luas. Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan politik, sebuah aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat secara resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik yang menjadi pusatnya.

Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.

Pemahaman terhadap teologi sebagai landasan filosofis berpengaruh pada tindakan politik sebagaimana tesis sosiologi pengetahuan, bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan. Selanjutnya, ideologi yang dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap dan diwujudkan lebih jelas pada ekspresi politik.

Gerakan mahasiswa Islam sebagai realitas sosial merupakan replika atau miniatur dari kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas Islam ternyata memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang. Sampai saat ini, tipologi Clifford Geertz tentang santri, priyayi dan abangan masih kental pada masyarakat sekarang.

Ideologi gerakan mahasiswa Islam pada dasarnya adalah Islam. Namun dalam perkembangan selanjutnya mengalami metamorfose seiring dengan perkembangan jaman. Dengan memahami ideologi meraka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka selanjutnya.

Perbedaan merupakan sunatullah. Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran tidak perlu di permasalahkan dan menjadi sumber konflik. Yang lebih penting adalah bagaimana seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan juga memperkaya sekaligus rahmat yang harus dijaga. Dengan perbedaanlah akan tumbuh otensitas keimanan dalam hidup bermasyarakat karena benturan-benturan atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya akan mendewasakan sekaligus menjadi pengalaman yang berharga.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
Larrain, Jorge, 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Mannheim, Karl, 1993. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Ekonomi Rakyat ; Masihkah Bisa Bertahan ?


Pendahuluan
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik  menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar.  Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar.  Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang.  Perlu diketahui bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama rezim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Untuk itulah yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.  Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.  Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil, adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action.  Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.  Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.  Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka dikhawatirkan cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulangBahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat  counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. 
Dari Hulu Ke Hilir
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas.  Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep.  Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak, tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil.
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi.  Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif teritorial.  Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di Indonesia secara turun temurun.  Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di Indonesia, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb.  Oleh karena itu program pemberdayaan ekonomi rakyat sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. 
Kebijakan Yang Optimal
Menyusun kebijakan yang optimal dalam pemberdayaan ekonomi rakyat memang bukan merupakan pekerjaan mudah.  Permasalahan seperti mencari keseimbangan antara intervensi dan partisipasi, mengatasi konflik kepentingan, mencari instrumen kebijakan yang paling efektif, membenahi mekanisme penghantaran merupakan tantangan yang tidak kecil.  Yang dapat dilakukan adalah mengusahakan mencoba mengusahakan agar kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut dapat mewujudkan suatu ekonomi rakyat yang berkembang – meminjam jargon yang sangat terkenal – dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Dalam semangat demokratisasi yang berkedaulatan rakyat, hal tersebut berarti kebijakan yang dilakukan perlu dapat menjamin agar kegiatan ekonomi mencerminkan prinsip-prinsip :
Pertama, dari rakyat; rakyat banyak memiliki kepastian penguasaan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumberdaya produktif, dan rakyat banyak menguasai dan memiliki hak atas pengambilan keputusan produktif serta konsumtif yang menyangkut sumberdaya tersebut.  Pemerintah berperan untuk memastikan kedaulatan tersebut dilindungi dan dihormati sekaligus mengembangkan pengetahuan dan kearifan rakyat dalam pengambilan keputusan. Kedua, oleh rakyat; proses produksi, distribusi dan konsumsi diputuskan dan dilakukan oleh rakyat.  Dalam hal ini sistem produksi, pemanfaatan teknologi, penerapan azas konservasi, dan sebagainya perlu dapat melibatkan sebagian besar rakyat.  Pemberian ‘hak khusus’ kepada segelintir orang untuk mengembangkan ‘kue ekonomi’ dan kemudian baru ‘dibagi-bagi’ kepada yang banyak tidak sesuai dengan prinsip ini.  Kreativitas dan inovasi yang dilakukan rakyat harus mendapat apresiasi sepenuhnya. Ketiga, untuk rakyat; rakyat merupakan ‘beneficiaries’ utama dalam setiap kegiatan ekonomi sekaligus setiap kebijakan yang ditetapkan. 
 

Kamis, 16 Desember 2010

PEMUDA; PENEGAK KEMAJUAN BANGSA


Oleh : Nurul Huda*

Para pemuda ibarat ruh dalam setiap tubuh komunitas dan kelompok, Mereka merupakan motor penggerak akan kemajuan sebuah negara. Makanya tidak heran, jika ada yang mengatakan bahwa sebuah negara akan menjadi kuat eksistensinya, ketika para pemudanya mampu tampil aktif dan dinamis di tenga-tengah  masyarakat. 

Tongkat estafet pembangunan karekter bangsa dan negera ini akan terus berganti dari masa ke masa, seiring dengan pergantian generasi. Oleh sebab itu, dibutuhkan sosok generasi yang tangguh dan ulet untuk mengemban amanah besar ini. Pemuda, dengan segala kelebihan dan keistimewaannya sangat diharapkan untuk dapat mewujudkan cita-cita nasional menuju bangsa yang bermartabat dan berdaulat secara utuh. Tentunya pemuda yang dimaksud adalah mereka-mereka yang mempunyai jiwa nasionalisme, patriotisme serta didukung dengan komitmen moral yang kokoh. Semangat juang pemuda pada tahun 1928 yang dideklarasikan sebagai sumpah pemuda dapat menjadi titik tolak memacu semangat untuk melangkah. Semangat sumpah pemuda harus di reaktualisasi di saat sekarang ini. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa roda pembangunan kedaulatan indonesia tidak terlepas dari campur tangan para pemudanya. Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 adalah salah satu hasil jerih para kaum muda dalam mendesak Soekarno untuk segera memproklamirkannya. Sosok pemuda yang diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan karakter bangsa dan negara tidak jauh dari sosok pemuda para pendahulunya. Hanya saja konteks peran aktif itu mungkin bisa menjadi berbeda dan lebih beragam di zaman sekarang ini.
Seiring dengan derasnya arus globalisasi, yang menjadikan dunia ini semakin sempit, maka di waktu yang sama hal itu akan membawa sebuah konsekwensi; baik positif atapun negatif. Kita tidak akan membicarakan mengenai konsekwensi positif dari globalisasi saat ini. Karena hal itu tidak akan membahayakan rusaknya moral generasi muda. Namun yang menjadi perhatian kita adalah efek atau dampak negatif yang dibawa oleh arus globalisasi itu sendiri yang mengakibatkan merosotnya moral para remaja saat ini.

Dekadensi Moral
Diantara sekian banyak indikator akan rusaknya moral generasi suatu bangsa adalah semakin legalnya tempat-tempat hiburan malam yang menjerumuskan anak bangsa ke jurang hitam. Bahkan bukan merupakan hal yang tabu lagi di era sekarang ini, hubungan antar muda-mudi yang selalu diakhiri dengan hubungan layaknya suami-isteri atas landasan cinta dan suka sama suka. Sebuah fenomena yang sangat menyedihkan tentunya ketika prilaku semacam itu juga ikut disemarakkan oleh para muda-mudi yang terdidik di sebuah istansi berbasis agama. Namun itulah fenomena sosial yang harus kita hadapi di era yang semakin bebas dan arus yang semakin global ini.
Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, akan semakin memudahkan para remaja untuk mengakses hal-hal yang mendukung terciptanya suasana yang serba bebas. Hal-hal yang dahulu di anggap tabu dan masih terbatas pada kalangan tertentu, kini seakan sudah menjadi konsumsi publik yang dapat diakses di mana saja. Sebagai contoh konkrit adalah merebaknya situs-situs berbau pornografi dapat dengan mudah dikonsumsi oleh para pengguna internet. Memang di satu sisi tidak bisa dinafikan, bahwa internet memberikan kontribusi besar dalam perkembangan moral dan intelektual. Akan tetapi dalam waktu yang sama, internet juga dapat menghancurkan moral, intelektual dan mental generasi sebuah negara.
Negara kita sedang mengalami ancaman badai yang sangat mengkhawatirkan. Peredaran minuman keras (miras) dan narkobapun semakin hari semakin mengarah pada peningkatan yang siknifikan. Tidak jarang kita baca, dengar, atau lihat dalam beberapa media cetak dan elektronik akan tindak kriminal yang bersumber dari penggunaan kedua jenis barang di atas. Kurva peningkatan peredaran miras dan narkoba itu tidak terlepas dari dampak negatif semakin mengguritanya tempat-tempat hiburan malam yang tersaji manis di hampir sudut kota-kota besar. Bahkan ironisnya, peredaran itu sekarang tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu, namun sudah merebah kepada anak-anak yang dikategorikan masih di bawah umur. Ada beberapa dampak negatif atau kerugian bagi pecandu miras dan narkoba;

Pemuda sebagai Agen Of Change
Ada sebuah adagium bahwa pemuda itu ibarat sabun. Pemuda itu licin dan gampang mencolot, terkadang bisa lembek dan tergelincir jatuh. Namun Pemuda bisa jadi adalah singa yang bisa diajak berkomunikasi, berteman dan namun ada kesalahan ia akan menyerang dengan beringas. Perannya sebagai ”Singa” ini bisa kita lihat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang menempatkan peran pemuda dalam posisi dominan dan monumental.  Di era pra-kemerdekaan maupun di era kemerdekaan, pemuda selalu tampil dengan jiwa kepeloporan, kejuangan, dan patriotismenya dalam mengusung perubahan dan pembaharuan. Karya-karya monumental pemuda itu dapat ditelusuri melalui peristiwa bersejarah antara lain; Boedi Oetomo (20 Mei 190  yang kemudian diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda(28 Oktober 1928), Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945), transisi politik 1966, dan Gerakan Reformasi 1998.
Peristiwa lahirnya Boedi Oetomo 1908 menjadi bukti bahwa pemuda Indonesia memiliki inisiatif untuk mengubah peradaban bangsanya. Ketika itu, menyaksikan metoda perjuangan kemerdekaan yang masih mengandalkan sentimen kedaerahan (etnosentrisme), pemuda berinisiatif untuk mengubah strategi perjuangan kemerdekaan dalam konteks peradaban yang lebih maju, yakni dengan memasuki fase perjuangan berbasis kesadaran kebangsaan (nasionalisme), untuk menggantikan semangat kedaerahan yang bersifat sporadis dan berdimensi sempit.
Pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, pemuda kembali menunjukkan perannya sebagai pengubah peradaban bangsa. Sumpah Pemuda merupakan fase terpenting yang dicetuskan pemuda dalam prosesi kelahiran nation-state Indonesia. Secara prinsip, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan sosial (social agreement) dari segenap komponen rakyat demi melahirkan entitas “Indonesia”. Yang kemudian disusul oleh kesepakatan politik Para Pendiri Bangsa berupa Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang melahirkan negara Indonesia merdeka yang berbasiskan pada platform dasar: NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Jelaslah bahwa gerakan moral untuk menuju Indonesia ke arah yang lebih baik nampaknya sangat membutuhkan sokongan generasi muda. Tanpa andil dari kaum muda, gerakan itu pasti akan terasa pincang. Peran aktif di masa mendatang juga ada di tangan generasi muda. Maka pemuda sering dianggap sebagai generasi penerus pemegang tali estafet. Hal ini sama dengan prinsip pemuda, ”Ingatlah wahai pemuda. Di tanganmu masih banyak problem sosial yang harus diselesaikan. Dan hanya dengan aktivitasmulah problem itu bisa terselesaikan.”

Membangun Transformasi Gerakan
Watak pemuda sesuai dengan akar katanya bermakna dinamis dan aktif. Pola pikirnya selalu mengedepankan logika idealisme yang tinggi. Ini sesuai dengan garis besar yang perlu dikembangkan, yakni kaum muda sebagai sumber insani dan ahli waris serta penerus cita-cita bangsa. Yang dipersiapkan dan dibina yaitu jati diri pemuda menjadi kader bangsa, menjadi generasi penerus yang berpandangan rasional, berbudi pekerti luhur dan memiliki keterampilan serta bertanggung jawab demi masa depan yang lebih baik.
Melihat eksistensi pemuda di tengah masyarakat modern sudah cukup lama, hendaknya mampu menjadi percontohan local genius. Artinya bahwa meskipun kehidupan masyarakat yang dililit materialisme, kapitalisme dan liberalisme namun pemuda hendaknya tetap konsisten untuk melestarikan budaya lokal dengan nuansa pikir intelektualisme sesuai paradigma ”Act Locally Think Globally”.
Transisi demokrasi Indonesia sangat membutuhkan patriotisme pemuda. Dengan jiwa patriotik pemuda, bangsa ini akan dinamis dan inovatif. Bangsa ini sangat membutuhkan pemuda yang berempati terhadap gerakan moral yang sedang berjalan. Tiga hal penting yang didapatkan dari gerakan kolektif pemuda masa kini adalah:
Pertama, dengan memulai gerakan moral yang baik dari generasi muda, secara otomatis mentalitas bangsa di masa mendatang sudah otomatis bisa tertata dengan rapi. Bekal yang ditanamkan bagi generasi muda adalah mentalitas yang kreatif, inovatif, menghargai proses, antikorup dan bertanggungjawab secara sosial. Ketika generasi muda tidak terburu nafsu dalam memperkaya diri dengan gemerlapan harta dan hedonisme, mereka akan mampu menghargai proses tahap demi tahap kehidupan dengan karya yang nyata, memiliki kesederhanaan hidup, maka pemuda tidak lagi membutuhkan instruksi. Kesadaran akan muncul untuk membentuk jati diri dan pribadi yang orisinal.
Pemuda di era multi-dimensional adalah perlu mandiri dan berdaya secara ekonomi. Seringkali nafsu politik menjadi garda depan kebutuhan generasi muda yang hendak berpartisipasi memimpin masyarakat. Namun ketika kekalahan menjadi takdir, mereka jatuh dan tersisihkan. Maka hal penting yang dibutuhkan adalah memberdayakan ekonomi terlebih dahulu, sehingga mapan, otonom/mandiri dan bisa memiliki banyak pilihan. Peningkatan SDM dengan memperbanyak pengalaman hidup, ketrampilan dan pendidikan. Ingat bahwa sukses bukan hanya karena pendidikan yang tinggi tetapi lebih banyak karena mereka memiliki berbagai ketrampilan.
Kedua, pengendalian emosi diri. Artinya, peran pemuda dalam menjadikan bangsa bermartabat dan berderajat tidak boleh direcoki dengan jiwa heroisme yang membabi buta. Banyak kasus yang terjadi, kalangan muda terpancing (terprovokasi) untuk membuat anarkis. Ini akibat emosi generasi muda yang masih membara. Ketiga, terciptanya keutuhan solidaritas bangsa. Seringkali bangsa Indonesia terkecoh dengan kata ”solidaritas”. Padahal solidaritas yang dibangun masih sepotong-potong, belum utuh. Gerakan moral yang berjalan dengan mantap akan melahirkan bangsa yang menjalankan solidaritas secara utuh. Dikotomi agama, suku, ras dan ideologi dengan sendirinya akan luntur dibarengi kemantapan jiwa dengan bangunan moral.
Meski model gerakan generasi muda sekarang perlu dimantapkan kembali sesuai semangat pemuda sebelumnya namun kita perlu cermat bahwa sekarang di era post modernisme ini, heroisme sudah tidak mendapatkan tempat. Peradaban kita tidak memerlukan pahlawan-pahlawan baru, tetapi membutuhkan pekerja yang giat untuk berkreasi secara diam-diam dan santun.
Bila Pemuda pada 1908 mampu melahirkan kebangkitan nasional, 1928 melahirkan sumpah pemuda, 1966 menegakkan kedaulatan negara, 1973 membuat Deklarasi Pemuda dan 1998 dengan semangat gigih menegakkan demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, maka pemuda di era millenium ketiga ini saatnya bergerak diam-diam untuk berkarya membebaskan diri dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Kita merindukan pemuda berprestasi, kreatif, produktif dan sadar hukum serta melek politik nasional dan internasional. pemberdayaan moral politik. Pemuda perlu memiliki kesadaran sosial dan politik yang berkembang di masyarakatnya. Dia perlu turut serta secara aktif menjadi bagian perubahan sosial budaya dan politik tersebut dengan menjadi kekuatan moral.
Transformasi gerakan moral pemuda di masa mendatang adalah mewujudkan generasi muda yang ramah dan tanggap terhadap fenomena sosial dengan landasan etika moral spiritual yang tinggi. Prototipe yang dikembangkan oleh pemuda harus didasarkan pada semangat kejuangan dan keinginan berdirinya negara republik yang kaya kemajemukan dan miskin peperangan. Ini dijalankan sesuai amanat dalam menumbuhkan, menggerakkan serta menyalurkan dinamika, militansi dan idealisme pemuda Indonesia. maka pemuda hendaknya bisa berdiri di atas keteguhan jiwa untuk membangun Indonesia yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Waallau a`lam bishawab

*Penulis adalah Pemuda Pinggiran Rangkasbitung