Selasa, 21 Desember 2010

Rekonstruksi Pendidikan Islam

Secara umum, meski terkesan ex post factum, pendidikan agama kita masih berkutat pada grand design pembangunan agama yang diterapkan pemerintah Orde Baru. Logika yang digunakan adalah pembangunan agama selalu berpatokan pada angka-angka statistik. Contoh sederhana terlihat pada fakta seringnya pemerintah (baca: Orde Baru) ‏‏membangga-banggakan ‏‏pesatnya pembangunan rumah ibadah sebagai indikator keberhasilan ‏pengem‏bangan mental-spiritual masyarakat. Dari tinjauan aspek material, fakta ‏itu sulit untuk dibantah. Tetapi kalau diamati dari ‏‏sudut non-materialnya terlihat adanya ketimpangan dan paradoks.

‏‏Pertanyaan simpel yang mengemuka; Mengapa ‏‏misalnya segala bentuk penyelewengan, ‏korupsi, kolusi dan ‏‏nepotisme berkembang tak kalah cepat dengan laju pembangunan rumah ibadah? Mengapa ‏pelbagai tindakan intoleransi, perusakan dan ‏‏ pembakaran rumah ibadah bukannya menurun intensitasnya, tapi malah melonjak grafiknya? Bukankah pesan-pesan moral yang disampaikan ‏‏melalui rumah ‏‏ibadah ‏itu sarat dengan semangat ‏‏penghormatan terhadap rumah ibadah agama lain? Ogburn (1964) menyebut gejala ini dengan istilah malintegration ‏‏(kekurangan ‏‏atau ketimpangan ‏‏integrasi) ‏‏antara unsur-unsur kebudayaan yang bersifat material dengan unsur-unsur yang non-material. ‏‏Sementara unsur-unsur ‏material ‏‏cende-rung berkembang ‏‏secara ‏‏linier, ‏‏pada unsur-unsur ‏‏kebudayaan ‏‏yang bersifat ‏‏non-material berkembang secara ‏‏siklikal ‏‏Akibatnya, unsur-unsur kebudayaan non-material ‏‏seperti mentalitas, moral, kebiasaan, tata cara dan pola-pola interaksi relatif ‏tertinggal ‏‏dari unsur-unsur kebudayaan ‏‏yang ‏‏bersifat material.

Ketika dunia pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik. Maka, seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan.

Sistem pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Hal di atas dapat dibuktikan dari sistem pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan agama sebagai pheriperi, sementara ilmu-ilmu yang menunjang pembangunan ekonomi sajalah yang diposisikan sebagai episentrum kurikulum nasional. Pendidikan agama dianggap kurang prospektif dan kurang mendukung bagi pengembangan kebudayaan material. Proses pendidikan direduksi sedemikian rupa sehingga hanya dilihat sebagai investasi belaka yang diukur dari marketable-tidaknya output (lulusan) yang ada dengan pangsa tenaga kerja yang dibutuhkan. Fenomena malintegration ini pulalah yang kemudian membuat pendidikan agama kita hanya diisi dengan pengetahuan fiqhiyyah yang bersifat kasat mata. Sementara nilai-nilai, moral, kebiasaan dan etika universal yang mendukung apresiasi siswa terhadap pluralisme keagamaan menjadi diabaikan karena bersifat abstrak, di samping karena waktu pengajaran agama yang sangat terbatas yang tidak memungkinkan seluruh aspek keagamaan dapat diajarkan.

Dalam situasi politik kebudayaan yang demikian, makna pendidikan rentan direduksi atau didistorsi menjadi sekadar pengajaran. Padahal, Pembukaan UUD 1945 —bagian dari konstitusi kita yang dianggap paling bertuah daripada batang tubuhnya sendiri— disebutkan poin utama pendidikan kita adalah “....untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ini jelas mengandaikan adanya transformasi nilai-nilai yang positif yang melampaui dari peran yang dimainkan sekolah. Menurut Azyumardi Azra, perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu negara-bangsa (state-nation) dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga benar-benar siap menyongsong kehidupan. Totalitas pendidikan, dalam konteks ini, meliputi semua jenis pendidikan: “informal,” “formal,” dan “non-formal.” Ketidakberdayaan sistem pendidikan kita secara umum terletak pada penyempitan makna pendidikan sekadar menjadi pengajaran yang kental nuansa formalnya.

Menurut Soejatmoko, pencarian abadi kebenaran (the eternal search for truth) dan seni penemuan (the art of discovery) yang lazim ditemui dalam proses pendidikan, akan semakin mudah terwujud bila hubungan antara guru dan peserta didiknya terjalin secara informal. Inilah hubungan “magang”, atau meminjam istilah Soedjatmoko: master apprentice, yang membuat relasi guru dengan peserta didiknya bagaikan “teman diskusi” yang mengasyikkan. Secara master-apprentice, peserta didik tidak diposisikan sebagai subordinat dan obyek ilmu yang melulu harus disuapi, digurui. Hubungan guru dan peserta didik tidak terstruktur secara hierarkis (atas-bawah) seperti layaknya kiai dan santri yang sarat patrimonialisme.

Dalam konteks ini, sinyalemen Paulo Freire, sarjana yang terkenal dengan konsep “penyadaran” (conscientization) untuk mendidik kaum tertindas, tentang pendidikan “gaya bank,” menemukan relevansinya. Dalam magnum opus-nya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menjabarkan apa yang disebut dengan istilah pendidikan gaya bank itu dengan mengambil analogi tentang celengan-celengan yang minta diisi. Dalam hal ini, peserta didik diibaratkan seperti bejana atau celengan menjadi “bejana-bejana”. Maka, semakin penuh isi wadah/bejana, makin berkualitas pulalah guru yang bersangkutan. Sebaliknya, makin patuh bejana itu untuk sudi diisi oleh guru, maka semakin baik pulalah murid itu. Yang terjadi adalah indoktrinasi, bukan proses komunkasi, apalagi dialog multi-arah. Murid harus menelan mentah-mentah apa yang dikatakan guru, tanpa reserve.

Dengan demikian, pendidikan “gaya bank” mengarahkan proses pendidikan yang semula luhur menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid ialah celengannya dan guru adalah penabungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi murid sekadar menerima, mencatat dan menyimpan (pasif). Dalam konsep pendidikan “gaya bank,” menurut Freire, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada murid yang divonis tidak berpengetahuan apa-apa. Freire bahkan secara vulgar menyebut hal itu sebagai ciri dari masih suburnya ideologi penindasan. Dan ujung-ujungnya nanti, pendidikan “gaya bank” sama saja berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.

Bukan mustahil bila kondisi memprihatinkan tersebut tidak segera diantisipasi, maka akan berkembang suatu gejala pemolaan yang merupakan unsur dasar dari adanya penindasan terhadap kaum tertindas. Artinya, perilaku kaum tertindas adalah perilaku terpola sesuai dengan yang digariskan penindas. Akibatnya, kaum tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum tertindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut menjadi bebas (fear of freedom). Guru yang memiliki naluri menindas, dalam hal ini, berhasil melanggengkan memori ketakutan dengan wewenang yang dimiliki: standarisasi nilai, cap baik-buruk dan lain-lain yang pada akhirnya nanti membuat siswa berpikir seribu kali untuk sekadar bertanya, apalagi menyanggah dari penjelasan gurunya.

SOLUSI FUNDAMENTAL

Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.

Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .

Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat. Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.

Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

Solusi pada Tataran Paradigmatik.

Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.

Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.)

Solusi pada Tataran Strategi Fungsional

Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Dalam pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumberdaya guru/dosen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan