Jumat, 21 Januari 2011

ANGGARAN RAKYAT DAN PERAN CIVIL SOCIETY

Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur dengan baik dan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang, umumnya disusun untuk satu tahun. Di samping itu anggaran merupakan alat kontrol atau pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan di masa yang akan datang. Sebagai instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menduduki posisi sentral (central position) dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.

Mimpi Kita (Sebuah Puisi)

Masih jelas terukir dalam kalbuku yang dalam

Mimpi-mimpi kita yang tertera pada dinding kamar kusam

Tentang semua hal yang menakjubkan

Tentang semua harapmu akan kebahagiaan

Aku sadari semua yang kita lewati

Entah hanya mimpi atau khayalan tanpa arti

Menukik tajam pada aroma kisah yang kita jalani

Meresap pada sorot mata saat bersua

Kau memang telah begitu dalam hinggap di hati ini

Hingga jemariku tak kuasa untuk mengeja makna

Anganku melayang menangkap nada cinta

Kaulah pembawa cahaya saat ku redup dalam derita

Kau sering berkata tentang mimpi kita

Kau inginkan keluarga bahagia

Kau inginkan punya anak dua

Hidup bersama dalam suka maupun duka

Ingin rasanya ku layangkan nafas cinta kita

Menemanimu kemanapun kau pergi

Tak ada yang kosong antara kita

Walau waktu tak jua pertemukan kita

Aku sadari memang kau telah jauh pergi

Meninggalkan mimpi-mimpi kita

Meninggalkan kisah kita

Tapi aku masih simpan rasa cinta antara kita

Pada dinding kamar

yang tak akan kuhapuskan dengan air mata

Cibadak, 2 -10,- 2010

MEMBANGUN ANGGARAN YANG PRO POOR

Anggaran publik memiliki beberapa prinsip. Pertama, transparan. Dokumen anggaran dapat dengan mudah diakses oleh publik. Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi keterlibatan publik secara langsung. Selain itu, adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan masyarakat. Ini untuk mengetahui seberapa besar penetapan anggaran mengakomodir kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin. Aspek transparan ini juga terkait dengan adanya kebijakan yang memberikan tempat/ruang kontrol dan monitoring oleh lembaga independen dan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelembagaan sebagai media “check and balance” dan ada prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan/pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan menjamin hak informasi publik.

Rabu, 12 Januari 2011

BUYA HAMKA ; ULAMA BERINTEGRITAS


HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik, sama ada Islam ataupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-’Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang andal.

HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia.Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat. Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah. Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya. Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke- 31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Pada 1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang.

Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim. Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro- Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah,Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah

Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Daftar Karya Buya Hamka

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.

2. Si Sabariah. (1928)

3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.

4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).

6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).

7. Hikmat Isra’ dan Mikraj.

8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.

9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

10. Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.

11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

13. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.

14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.

17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

18. Tuan Direktur 1939.

19. Dijemput mamaknya,1939.

20. Keadilan Ilahy 1939.

21. Tashawwuf Modern 1939.

22. Falsafah Hidup 1939.

23. Lembaga Hidup 1940.

24. Lembaga Budi 1940.

25. Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepun 1943).

26. Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.

27. Negara Islam (1946).

28. Islam dan Demokrasi,1946.

29. Revolusi Pikiran,1946.

30. Revolusi Agama,1946.

31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.

32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

33. Didalam Lembah cita-cita,1946.

34. Sesudah naskah Renville,1947.

35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.

37. Ayahku,1950 di Jakarta.

38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.

39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.

40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.

42. Kenangan-kenangan hidup 2.

43. Kenangan-kenangan hidup 3.

44. Kenangan-kenangan hidup 4.

45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.

46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.

48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.

50. Pribadi,1950.

51. Agama dan perempuan,1939.

52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).

54. Pelajaran Agama Islam,1956.

55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.

56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.

57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.

58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris

59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.

62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.

67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).

68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.

70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

71. Himpunan Khutbah-khutbah.

72. Urat Tunggang Pancasila.

73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.

74. Sejarah Islam di Sumatera.

75. Bohong di Dunia.

76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).

77. Pandangan Hidup Muslim,1960.

78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

79. [Tafsir Al-Azhar] Juzu’ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.

TAN MALAKA ; PEJUANG YANG PEMBERANI


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai “Pahlawan revolusi nasional” melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Riwayat

* Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
* Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
* Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik
* Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.
* Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
* Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

Perjuangan

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh “sekelompok orang tak dikenal” di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.

Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya. (dari berbagai sumber)

Catatan Awal Januari

Sejenak mari kita meraba, merenung, dan tafakur

betapa beragamnya hamparan jalan yang terinjak

kadang betapa sakit jiwa ini

tersengat derita tertimpa nelangsa

kegundahan yang menghantam tirai keimanan

lalu terdengar bisikan tapa wujud

menyeret rasa ke tikungan yang amat tajam

betapa resah langkah yang terayun

arahnya tergetar tak jua menepi

menertawakan m impi tanpa warna

dalam selimut yang menutup desah nafas

pada suatu kesempatan

betapa perahu begitu tenang berlayar

diatas lautan biru yang terhampar

menebar keharuman dalam lagu keagungan

mamuji kuasa sang pencipta

segala lembar yang tereer

adalah perjalanan yang terhempas

di awal Januari ini

kutapaki jejak ilahi

melalui jalan sepi di malam sunyi

dan jiwaku tebang bersama mimpi


Rangkasbitung, 01 Jan`11

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Fredrik Benu

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia

Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar

Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT

Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

________________________________________

Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang
Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.
Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.
Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.
Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.
Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.

[Artikel - Th. I - No. 3 - Mei 2002]

Jumat, 07 Januari 2011

Memoar Seorang Pejuang

By : Nurul Huda


Pada saat ini aku masih berjalan dengan idealismeku sendiri, aku masih terus bertahan walau kerikil-kerikil tajam datang menghujam, tapi bagiku itu hanyalah sebuah tertawaan kecil yang dengan sebuah senyuman saja bisa lenyap hingga keakar-akarnya. Aku masih percaya dengan kekuatan yang aku miliki saat ini, bahwa semua hal adalah makna dalam perjalanan hidup yang aku lalui, semua akan menjadi kekuatan dalam setiap masalah yang aku hadapi. Orang boleh mencemooh aku dengan berjuta cemoohan, orang boleh menghina aku dengan ribuan hinaan, tapi aku kan tetap jalani kehidupan yang aku yakini ini sampai kapan pun.

Walau kini kusadari betapa beratnya menjalani hidup dengan zaman yang serba kalap dan penuh sesak. Kadang sekecil apapun permasalahan akan menjadi seonggokan masalah besar jika kita tak mampu bersikap bijak pada kenyataan di sekeliling kita. Hidup di zaman sekarang memang membutuhkan kekuatan yang cukup besar untuk menghadapinya, aku bukan saja dihadapkan pada ketidakjelasan akan sebuah masa depan, namun juga sebuah jalan terjal yang akan aku lalui telah menjadi medan peperangan antara nurani dan naluri, antara jiwa dan logika, antara keinginan dan harapan, antara cinta den kebenciaan, antara kejujuran dan kebohongan, antara permusuhan dan persahabatan, antara kehidupan dan kematiaan, serta antara cita-cita dan keputusasaan.

Aku mulai menganyam kembali lembar demi lembar jejak yang kulalui, langkah yang telah terkayuh jutaan waktu, akan kujadikan bahan bermeditasi diri dalam pusara perubahan jiwa yang semakin kalang kalut ini. Aku pahami setiap kata yang terucap masih sering menyimpan tanda tanya yang suram, sebuah misteri yang sekan mengejarku dalam ketidakpastian. Setiap tingkahku yang kadang melukai orang lain, bahkan menjatuhkan nuraniku, semakin jelas menjadi letupan-letupan yang menggetarkan jiwa kejantananku.

Disisa waktuku yang hampir menuju kepunahan, aku masih sempat mengingat masa-masa kejayaan, masa dimana aku masih terus menghadirkan keberaniaan dalam nada-nada perjuangan, mempertahankan idealisme kemudaanku yang kokoh dan penuh harapan, menentang setiap ocehan orang-orang yang selalu menginginkan diriku dan keteguhan pendirianku runtuh berserakan, orang-orang yang setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap langkahnya seakan menyusun rencana jahat untuk mengusirku jauh dari kehidupanku sebagai seorang pejuang yang bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial di sekelilingku.

Hari demi hari terus berlari menuju puncak hari yang entah kapan akan terganti, alam semakin sangar dengan rentetan zaman yang makin menampakan kekejamannya pada orang-orang lemah, orang-orang yang ada di sekeliling ku yang hidup dibawah jeruji kemiskinan, di bawah garis kebodohan, dan bergelut dengan segunung ketertinggalan. Aku masih berdiri dengan air mata menetes di sela-sela sudut kegamangan, kesedihan yang nampak menyapu segala bentuk kesombongan. Di depanku tergeletak nurani yang seakan lenyap oleh ambisi, bongkahan logika lunglai terkatung-katung pada kuasa egoisme, dan nilai-nilai kemanuisaan luluh lantak oleh cakaran kerakusan kapitalisme.

Namun aku terus berharap pada keberanianku sendiri, pada keberaniaan orang-orang yang ditindas haknya, orang-orang yang dirampas kebebasannya, dan orang-orang yang masih berani berkata tidak pada kekuasaan yang menindas, otoriter dan korup. Aku yakin akan perjuangan yang penuh kesungguhan, dan aku masih akan terus bertahan, walau segala penghalang di depanku selalu datang di sela-sela waktu, mengancamku dengan segala keberingasannya,

Aku adalah seorang pejuang yang dilahirkan dari ribuan tangis orang-orang tertindas, jutaan air mata orang-orang yang dirampas hak kemerdekaannya, yang ditipu para penguasa korup. Senjataku hanya sebilah idealisme, seonggok impian akan kedamaian dan keadilan, dan sekeping harapan akan kemerdekaan bagi orang-orang disekelilingku yang setiap hari manjerit di jeruji kemiskinan dan kebodohan.
Kata-kataku terus mengalir, menciptakan kesadaran hidupku. Jiwa mengembang dalam perbedaan signifikan di antara keumuman. Bagai menemukan dunia lain dari dunia universalitas yang ditemukan berdasar ijtihad penerawangan atas pilihan. Perjuangan itu sesuatu yang tidak pernah alpa mengarungi pelayaran jauh menempuh tujuan, di dalam cita dan di antara pembelaan kepada yang tersingkirkan.

Dinding-dinding kokoh di luar ruh dan rasa dahaga di dalam raga menjadi saksi atas sukma yang bergetar. Sedangkan kisah silam dan kisah realitas bercampur aduk meramu akan datang. Seiring menggali kesadaran realitas nyata fiksi, hingga menemukan ruang-ruang sublim di dalam dunia keriuhan.

Dunia ini telah mengkontruksi sendiri terhadap pencitraan diri terang – benderang sekaligus mendapati ruang dahaga di alam raya secara alamiah. Rupa warna menyantap keyakinan sangat sempurna di ruas-ruas wacana berkehidupan dan menyebar diantara genderang kesombongan.

Pekikan kata-kata yang terlontar pada garis kesadaran atas implementasi seseorang yang mendiami diri di dalam keyakinannya. Pada cermin dunia tanpa makna, maka kejujuran merupakan logam mulia di ranah dunia yang sarat kemunafikan.

Tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu dibelah oleh dua unsur ingin, sebagaimana prosedur alam di panggung-panggung kehidupan. Namun kita memilih yang mana kenyataan dan kemampuan harus seimbang, apalagi ketika jalan hidup harus terpenuhi sebagai lahir bagi tanggung jawab perut-perut di belakangnya.

Hidup bagai trompah meraup hikmah di jalan-jalan ketimpangan, berhadap-hadapan dengan hedonisme, serta merta kapitalisme mengepung kenyataan. Tantangan demi tantangan tidak mudah dilewati badan, apa yang seharusnya menyuburkan pada daya menciptakan mukjizat, pada sengkarut hidup yang kian meredup.

Inilah ketika seseorang berada dikeharibaannya melawan magma rupa dunia. Hanyalah kepada keimanan seseorang yang tangguh akan kesiapan mental, kalau pun lulus di ranah universitas kehidupan dengan sendirinya akan terbebas dari tekanan. Sambil menyambangi angin yang selalu menerpa, di hamparan dunia antah brantah, Bahwa perjuangan adalah hasrat dan cita-cita di alam perubahan dan di setiap jengkal lini atas nama kebenaran pasti penuh gerai penghalang.

Selanjutnya oleh keyakinan yang didasari puncak kesedihan, membongkar otak kepedihan. menumbuhkan nalar-nalar keseimbangan menjawab gelombang lautan. Kehidupan pun menjelmakan rindu kepada sesama. Ketika semua menjadi kodrat dan tanggung jawab atas hal yang ditulis, selanjutnya adalah pembuktikan kata itu sendiri, yang menyalakan di jiwa ku yang bukan siapa-siapa. dan hidup yang diemban sebagai pilihan, sebab itu setiap bentuk ijtihad makhluk ingin membangun martabat yang tinggi, menjadi manusia sejati yang punya arti.

Selanjutnya biar goda datang bertubi, pilihan menyedihkan sebagai irama yang tetap menjadi daya sengat di ranah persada. Jiwaku berlayar menapaki rahasia, Di pintu pertapaanku yang tetap berjaga agar dahaga tak tergoda. Hidup apa kata angin, sambil menghirup tantangan dan merombak total kebiasaan. Yang tak pantas segera kusingkirkan, yang baik segera kusimpan dalam rekam jejakku di peradaban dan di dasar perjuangan.

Kepada siapa kalau bukan kepada diriku sendiri, melawan adalah kewajiban. Sebagai anak manusia yang punya tugas menjadi manusia. Saat dimana wajah zaman yang semakin muram akibat peradaban tidak imbang. Bercabang tanduk-tanduk di kepala menanduk para pendusta yang biadab terhadap kemiskinan bangsa.

Di hatiku, Hidup telah bersemayam dalam lagu Perjuangan.
Bagiku melawan adalah kewajiban…
Dan aku akan tetap melawan dengan segala kemampuan dan keberaniaanku sendiri...

Rangkasbitung, 2-3-10`10