Jumat, 15 April 2011

Bisikan Semesta

aneh.. setiap hal terjadi begitu cepatnya
seperti roda pedati yang berlari
mengejar waktu menuai hari
tapi selaksa wajah itu masih saja mengejarku

meminta didekap sang rembulan
memohon disekap sang malam
lirih jiwaku meronta

desau laraku melata
ingin ku menghilang dari pusaran cahaya
bersembunyi dibalik waktu yang kelabu
tapi apa dayaku
tanganku tak sanggup berpegangan lagi
kakiku tak kuat berlari lagi
aku tergeletak diantara kebimbangan
aku tersuruk pada dinding kekalahan

dia semakin mendekat pada rona wajahku
mencium dan melumuri wajahku dengan berjuta nestapa

ah dunia
sejengkal pun tak sanggup aku menghilang dari tatapanmu
yang dingin dan penuh misteri

ah semesta
inikah wajahmu yang anggun tapi penuh tanya
seperti pasir yang berbisik pada samudera
pada alam yang membuatmu menjadi pesona

Senin, 11 April 2011

Do`a Sang Pendosa


Saat jemari mengukir tasbih
Mengucap pujian bagi sang ilah
Menembus altar langit yang kelam
Sekelam jiwa hamba yang usang

Begitu jauh jarak antara kita
Ketika ku menjauh dari cintaMu
Lalu menjelma jadi goresan pasir yang mengering
Terbakar mentari di padang kering

Aku hanya pendosa yang berharap ampunan
Dalam kubangan prilaku yang penuh kehinaan
Menjumput selaksa cahaya dariMu
Untuk menerangi hatiku yang kian pekat nan sayu

Aku hanya pendosa yang tak kuasa menanggung cela
Memintal jarak dengan kepongahan logika
Memburu waktu dalam irama yang tak lagi merdu

Betapa banyak dosa yang terukir ditubuh ini
Betapa jejak kakiku mentasbihkan semua prilaku
Jahat, keji, hina, cela dan berjuta aib tertera
Seakan semua tak ada habisnya

Oh Tuhan..
Si pendosa ini mohon ampunan Mu
Betapa uluran tanganMu teramat penting bagiku
Melebihi semua uluran tangan di dunia ini

Oh Tuhan..
Dalam derai air mata ini
Ku bersimpuh pada lembaran ayat Mu
Pada selaras sajadah yang terbentang ini
Pada guratan zikir yang terukir disini di hati ini

Mahdah Rindu


Paras tak berbedak selalu dedakan nafas puja
Memandang anggunmu laksana mereguk seembun air
Di padang gersang yang melelahkan
memancarkan mata menakjubi cipta Sang Kuasa
Tak ‘kan mampu mutiara pun berkata
Atas kecantikanmu beraura di mata berkaca
Sungguhlah anugerah tiada tara, jelitamu.
Menjelajah jiwa dalam kembara hatiku
Sayu mata di pelataran senyumu
Menatap ayu kepadaku, yang melirik syahdu.
Seolah menggenggam gumpalan rindu
yang hadir di altar waktu
Di bola matamu yang bilau nan berpipi mengilau
Sekiranya cerahmu ini adalah samudera atlantik
Sudilah aku menjelajahi lautan yang berbahaya fanatik
Harum bunga melati yang ranum di dada
Mewangikan gelora mendegup jantung tak berjeda
Merayu puji untukmu, wahai purnama rembulan
Berbuah kasih, merelakan diri menjatuhkan raga
Di mulus tubuhmu yang mawar hingga bercumbu cinta
Meski waktu adalah jarak
lalu langit menjadi batas
Kurelakan kau tak menggugah disetiap mimpi menjarah
Desir-desir puisilah yang bisa kutenun
Menyelimuti lelapmu gantikan peluk selayaknya.
Menghangat renung bila terbangunkan mimpi, berharap ada.

Aku, adalah tenung terjal yang rapat
Tanpa lelah menanti kabarNya, tentang kita.
Disetiap kosong, sepi, sendiri, jua dahaga patri
Harap ini tak lebih hidangan di selasar senja
Untukmu dan aku, yang mematamorganakan asmara
Tatkala jiwa rapuh merindu pilu
Ketika batas-batas waktu membelah jarak antara kau dan aku

Jumat, 08 April 2011

Tuhan.. izinkan aku bercinta denganMu


Kata-kataku terus mengalir
dalam juntaian sepi sendiri makna
yang mabuk dalam kebisuan
hatiku menyetrika oral kecongkakan
gelombang membongkar jiwa
Laut meluapkan cinta
Awan rupa warna

Sambil menyambangi angin yang selalu menerpa, ketika dinding jiwaku melayang di hamparan dunia antah berantah, ada hal-hal yang tidak manusiawi, sangat kejam dan bengis.

Percintaan ini menawarkan gairah pikir dalam menerjemahkan sisi lain dari kenyataan yang ada. Bahwa pemikiran suatu hasrat dan cita-cita oleh setiap makhluk di alam perubahan. Di setiap jengkal lini atas nama kebenaran pasti penuh aral.
Sebagaimana hati yang dipatri menjadi simpul-simpul lahiriah. Intuisi itu lah yang menghiasinya menyapa makhluk-makhluk lainnya. Merangkum sembah dalam pusara pemaknaan.

Selanjutnya oleh keyakinan yang didasari puncak kerinduan, membongkar otak kemunafikan. Aku menumbuhkan nalar-nalar keseimbangan menjawab gelombang lautan penghambaan .

Kehidupan pun menjelmakan rindu kepada Mu. Menyambangi lima kali setiap hari untuk wujudkan rasa Cinta padaMu. Ketika semua menjadi kodrat dan tanggung jawab atas hal yang perbuat, selanjutnya adalah pembuktikan cinta itu sendiri.

Yang menyalakan di jiwa. Benar adanya sesuai hakiki hidup yang diemban sebagai pilihan,. Sebab itu setiap bentuk cinta untuk membangun martabat yang tinggi.
Sejurut itu pula, menyingkap pengertian kalbuku menuju ke gerbang pintu perjumbuhan horisontal terjaga. Demikian perjumbuhan vertikalku, seiring dengan jalannya roda syahwat ukhrowi sebagai penyeimbang. Selain aku terlalu lama menelan lahap perjalanan berliku, syahwat duniawi sebagai pembungkus rasa kaldu di meja makan.

Puisiku berlayar menapaki rahasia
menyalib matiku di pintu penyesalan
hati ini tetap berjaga agar lena tak tergoda kemegahan dunia

Hidup apa kata angin
Yang menghirup tantangan
Merombak total kebiasaan

Tuhan…Aku ingin terus bercinta dengan Mu....
Karena hidup telah bersemayam dalam lagu kerinduan
Dalam semesta cahaya keagunganMu

Rangkasbitung, 08 - 04 - `11

Kamis, 07 April 2011

Tepian Cahaya


Fatamorgana telah menyisipkan racun manis dalam selubung oase.
Dalam hembusan angin yang berpesta sendiri
sembari menelisik cakrawala yang mengitari semua
dalam lantunan jantera alam raya

Sambil lalu lalang,
Kan ku jumlah bagian yang mentasbihkan jarak antara kita
Mungkin dengan acuh
kau akan berbangga menyimpan semua ragu.

Akupun bergentayangan mengikutimu
dalam beberapa kecup yang kau campur ke udara kelam
dan aku sendiri mengerjai senyawa.
Aku tertawa pada baris-baris udara
tatkala engkaupun bergurau
tentang mendung yang mendingin di pojok sunyi.

Dan ku yakini bahwa mungkin engkaulah genderang kasih
yang melantunkanku di saat aku membunyikan getaran dunia.
Menggertak angin menjadi langkah absurd
yang kadang harus ku lumuri pada ketelanjangan ini.

Sudahkah engkau bertanya pada subuh
yang mungkin menaiki kencana dalam segala rupa?
Atau mungkin engkau menunggui udara tengah hari
yang menyawangmu pada kosong di sela guratan mimpi?

Ketika dengan terpaksa aku menyahut dahaga
yang terkatung katung di sepanjang titian sengat,
kemana lagi kau kan menuntunku menyusuri tepian cahaya semesta?
Aku sudah berkawan lama dengan letih
dan dia menjadi teramat sunyi
pada kemegahan udara yang ku bawa sepanjang tatih.

Cukupkah dengan seringai
engkau merepitisi semua guna yang hendak ku pagar padamu
biar semua menjadi stagnan.
Dan kita bagai sepasang kupu-kupu
yang mengelupas sang waktu
dalam temaram malam.yang kelabu

Rangkasbitung, 7 - 4 - 11

Rabu, 06 April 2011

Pesan Rembulan ( untuk EYS )


Untukmu yang selalu tersenyum pada rembulan
Janganlah kaulelah arungi lautan hidup
Menahan setiap sesak yang datang menyambut
Di sepanjang jalan yang terus berserakan
Tetap melangkah walau badai menghadang
Karena kekuatan itu pasti datang

Tertawalah sebelum ditertawakan
Sebab ini adalah kenyataan
Yang harus kau lawan dengan senyuman
Dan dengan segenap kesabaran

Untukmu yang namanya tertera pada dinding cahaya
Langkahkan kakimu walau tapak penuh kerikil tajam
Seperti malam yang menampakan rona mendalam
Tetap bergerak selami kancah keadaan
Bentangkan layar seluas keinginan
Berharap angin nanti akan berhembus
Membawamu ke aras tujuan

Tegarlah seperti karang
Yang tetap bertahan di derasnya gelombang
Luaskan pikiran bagai samudera
Yang menerkam segala alpa
Biar ombak kecil membelai pantai jiwamu
Jadikan berarti seindah pasir putihnya

Ingatlah…
Kita tak akan mengerti tentang sebuah kemudahan
Tanpa pernah merasakan kesulitan
Karena hidup itu adalah serpihan kekuatan
Yang akan menjadikan kita seperti temaram rembulan

Ingatlah…
Masa depan telah menunggu dengan bunga rampai
Yang harum di atas kasur-kasur.
Bersiap-siap mendekap dengan tangan panjang
Yang terkembang dan bahu lebar yang empuk membentang

Taman Cahaya, 6 – 4 - `11

Dinding Cahaya

Kata-kata itu terus mengalir, menciptakan kesadaran hidupku. Rohaniku mengembang dalam perbedaan signifikan di antara keumuman. Bagai menemukan dunia lain dari dunia universalitas yang ada ditemukan berdasar ijtihad penerawangan atas pilihan. Pertanyaan pun ditemukan jawaban nalar kepada sang waktu, dan diolah oleh ruang ketekunan disiplin berfikir yang unik milik pribadi.

Kata-kata itu sesuatu yang tidak pernah alpa mengarungi pelayaran jauh menempuh tuju di dalam cita mengembiskan cinta di antara pembelaan kepada yang tergerus. Juntaian kata setiap hari berseliweran bersebrang-seberangan di atas ubun-ubun. Berarak-arakan kepejalan seperti denyut tak berhenti melakukan thawaf.

Dinding-dinding kokoh di luar ruh dan rasa dahaga di dalam raga menekurkan sukma yang teramat nista. Sedangkan kisah silam dan kisah realitas bercampur aduk meramu akan datang. Seiring menggali kesadaran realitas nyata fiksi dan hingga menemukan ruang-ruang sublim terutama di dalam dunia keriuhan.

Kenyataan tidak terbantahkan di dalam ranah bawah sadarku terus bersenggama amat dahsyat. Tak bisa dielak kejumudan di dalam kejujuran lantas merangkum kemasgulan keyakinan yang berserak di diri yang berganda pada keelokan jiwa-jiwa.

Selanjutnya oleh keyakinan yang didasari puncak kesunyian, membongkar otak kepedihan. lalu menumbuhkan nalar-nalar keseimbangan dan menyapa gelombang lautan. Maka lahirlah kata yang aku sebut kata itu bernama cahaya.

Cahaya yang akan tetap ku pancarkan, walau satu kata, walau pahit rasa getir, tetap disampaikan dengan semua perintangan Kehidupan pun menjelmakan rindu kepada sesama.. Ketika semua menjadi kodrat dan tanggung jawab atas hal yang ditulis, selanjutnya adalah pembuktikan kata itu sendiri.

Rangkasbitung, Dini Hari, 6 - 4 - `11

Selasa, 05 April 2011

Mengubur Dogmatisme

“Agama yang kini menjadi nomenklatur kehidupan telah berubah tabiatnya menjadi beribu-ribu fragmentasi. Lihatlah bagaimana di tangan politikus, agama menjadi semacam alat pembius bagi rakyat dan bertengger di kursi kekuasaan. Berbagai partai menjadikan agama sebagai ideologi, agar dagangan partai itu laku di pasaran. Ingat pula bagaimana kekerasan tercipta di balik nama agama. Teror, intimidasi dan aneka fitnah dilancarkan dengan dalih penegakan agama. Ribuan orang merenggang nyawa, jutaan manusia kehilangan harta benda, mereka jadi korban kekerasan atas nama agama.
Lalu dimanakah mereka, para intelektual, cendekiawan, pendidik dan para pemimpin agama, sehingga hal demikian terus terjadi di daratan bumi ini?

Aku rasa mungkin mereka sedang asik berebut upeti, bertafakur untuk mencari jalan popularisasi diri, mendirikan partai untuk kepentingan pribadi, dan mungkin juga berasyik mansyuk dengan menumpuk kekayaan sendiri.

Lantas apa yang harus kita lakukan.?

Bagi saya, dalam paradigma dunia saat ini, tak ada jalan lain yang harus kita lakukan adalah dengan merombak pola pikir kita yang saat ini terlampau dogmatis, menjadi pola pikir yang dinamis dan konstruktif, menghilangkan otoritas satu golongan tertentu, agar tidak terjadi manipulasi kekuasan. Dan yang paling penting lagi adalah mengubur sedalam-dalamnya sikap ketidakmandirian kita dan kelatahan sikap kita yang selama ini menjangkiti jiwa dan gaya hidup kita, agar kita tak menjadi orang-orang tolol yang suka mengekor.”

Minggu, 03 April 2011

Bidadari Penebar Rindu

Desahan nafasmu membuat hatiku berbunga-bunga.
Kau senentiasa diam seribu bahasa,
amat sedikit bicara,
membuat pandang matamu semakin menenung.
Kau seakan dekat dan duduk di sisiku,
membuat purnama tampak tak terlalu terang,
dan aku semakin suka suasana remang.

Bagi Zulaikha, Yusuf Sang Pangeran
Bagi `Ali, Fatimah lah Sang Ratu
Bagi Rumi, Syamsuddin lah Sang Maharaja
Bagi Muhyiddin Ibnu Arabi, Fathimah Cordoba lah Sang Ayu
Tapi bagiku kaulah bidadari penebar rindu

Inilah diriku...
Yang tak punya apa pun kecuali rasa mendamba
Yang tak bisa apa pun kecuali meminta
Yang miskin dari apa pun kecuali harapan
Yang tak bersuara apapun kecuali ratapan

Duhai jelitaku,
kau lah satu-satunya keceriaan yang berlimpah,
tak kuasa aku menatap wajahmu yang maha jelita ke segala arah,
juga bibirmu yang demikian indah memerah,
tak kuasa aku mendengar cengkerama diammu
yang membuat jiwaku melayang dalam alam
misteri yang demikian dalam.
Rangkasbitung, Januari `10

Bayangmu diantara Rinduku

Mataku terpejam tak mau
Anganku berontak tak lesu
Merekat pada ruang kamar
Berkutat pada riuh gaduh angin malam
Meronta lagi getar ini
Mengais lagi bahtera rindu

Lengkaplah sudah sepi ini menguruk sendiriku
Terkulai dikunyah nelangsa yang berapi api
Menyusuri jalanan lengang
Bersimbah angan tanpa tujuan
Dalam derap gerimis yang pongah menghujam
Terbuai wajahmu yang menyusup bertubi tubi
Membawa sebaris kata bahagia
Menenggelamkan nurani di atas pengharapan tak berkesudahan

Tentang rinduku yang kusam...
Tentang cintaku yang terbuang...
Mengutip satu namamu di antara keluh kesah, gundah gelisah dan lara pesakitan
Masihkah ada sedikit senyum darimu di batas penantianku?
Masihkah ada kehangatan seperti yang kurasakan dulu?
Ku semakin terbata-bata dalam kata-kata...untuk memujimu, mengharapmu, mencintaimu dan
menantimu...

Untukmu kuasah luka
Padamu kuasuh bahagia
Padamu cinta ingin kuakhirkan

Dan bila cinta mempertemukan ujung jalan ini
Janganlah sepi yang hadir...
Janganlah semu yang membeku...
Karena, ku kan s'lalu berjalan menujumu...
Hanya padamu...

Puncak kerinduan

Di sebuah rimba gelap gulita
Dimana jalan yang terang telah hilang
Tak terbayangkan betapa sulit
Hutan belukar ini menghimpit dan menggigit
Cahaya bintang mencekiku di awal jaln setapak yang curam
Dimana jubah musim hilang tak menentu
Dan maut membimbing insan ke persimpangan jalan

Aku tak tahu bagaimana aku bisa sampai
Pada puncak penghambaan di bukit cinta
Kalau sewujud bidadari menghadangku di tengah perjalanan
Dengan begitu menggoda
Ia cantik, enggan menyingkir walau dihardik

Mengepang jalanku dengan matanya yang cerdik
Senyumannya penuh damba sang pujangga
Terukir lembut dalam goresan pena
Dan membuat hati ini berharap penuh hampa
Kata-katanya mengalahkan benteng penuh jeruji
Meskipun aku telah lama pergi
Tapi aku tak bisa menahan hasrat tuk kembali.

Kesunyian Jiwa

Dikala batinku terkoyak oleh cakaran dunia
Gema takbir di ruang sunyi
Mengusir usikan api yang merah seperti darah
Melukis samudera di derasnya ombak yang kelam
Dan debu bertaburan dalam bongkahan kerikil-kerikil yang tajam

Hai sang fajar
Jangan sampai merahmu kau campur dengan biru
Sebelum aku obati luka-luka di tubuh ini
Akan kuhampar sajadah selebar lautan
Dan akan kudendangkan lagu tentang kerinduan, kecintaan,
hingga kekaguman pada sang ilah, sang maha penguasa.

Tak kan kuhiraukan bibir bergetar
Seperti angin membawa badai
Mengulas luka yang terkelupas
Oh tuhan, memang waktuku hanya untukmu
Walau waktu sibukan hidupku.

Bisikan Jiwa

Aku adalah jiwa yang kering kerontang
Bagai angkara murka menggunting maksiat
Dari anganku yang kian membangsat
Hingga air mata berjatuhan di malam yang pekat

Tuhanku, inilah bahasa yang aku punya
Bagaimana kau meminta bukan dengan do`a
Aku tidak punya apa-apa
Untuk aku persembahkan padamu
Bahkan jiwaku yang usang adalah nol besar bernilai kosong
Jika kuhadapkan padamu

Tuhanku, hidup ini hanyalah sehasta langkah untuk menujumu
Menuju mahligai cinta darimu
Tapi mengapa aku terlalu sibuk dengan dunia
Yang kian menipu
Apakah aku telah kehilangan dirimu

Tuhanku, jika benar keadaan kita telah berjauhan tolong tunjukan padaku
Jalan yang harus ku lalui
Tuk sampai pada labuhan cintamu
Tuhanku, jangan biarkan diriku terpanggang
Di pulau keterasingan ini

Kepasrahan Hati

Saat langit mengukir muara dengan cinta
Air mataku tiada lagi pernah mengeja semua derita
Sementara angin berhembus mendekap selirih perih
Dalam bingkaian waktu, diriku merindu surgamu
Hingga sujud yang kugelar, berkelidan di bukit senjamu

Tuhanku, bila batu-batu bermekaran di kaki fajar
Dan ababil melabuhkan jerujinya dalam amarah yang sangar
Berikanlah diri hamba ketabahan mengais magfirah
Tuhanku, dalam bentangan kawah jiwaku
Dosaku lebih banyak membasahi tubuhku
Saat surya bercahaya kelabu di lembaran kisahku

Tuhanku, dirimu yang abadi mengemasi hari-hariku
Melukis tingkah lakuku di padang mahsyar itu
Sunyi senyap menghimpit jantungku
Malam suram mengubur deru darahku
Hingga pagi membungkus seluruh desahku

Tuhanku, bila hujan reda dan kemarau tiba
Aku masih ingin menjadi hambamu
Menerjemahkan kalimat syahadat
Mengulum do`a disetiap jari jemari shalat

Cahaya Subuh

Betapa pun kulukiskan keagunganMu Tuhan
KekudusanMu tetap meliputi semua arwah
Temaram lampu di tengah lautan
Tak akan mampu menandingi cahaya subuh-Mu

Di kala manusia terlena oleh tidurnya
Dipangkuan iblis kemalasan
Aku paksa jiwa ini untuk merayuMu
Melalui zikir yang melelehkan nafsuku
Kurunut kata-kata agung untuk Mu
Diterangnya cahaya surya
Diluasnya ahmparan pengampunanMu
Agar aku bisa sampai ke ma`rifatMu

Langkah-langkah syaitan jahanam
Selalu membawaku ke arah kemunafikan
Mendekatkanku ke panji kesombongan
Keangkuhan yang penuh kepadaMu

Tuhan, ribuan sujud akan ku persembahkan
Jutaan zikir akan aku lelehkan
Di pusara keabadianMu

Jambu, Januari 2007

Selaksa Pengharapan

Secercah embun membasahi rerumputan di pagi hari
Menerobos lautan cinta antara ambisi dan nestapa
Di jurang pengampunan aku bersimpuh
Meminta penghapusan akan dosa-dosa
Yang ku lakukan dikala muda

Beribu dzikir teucap
Berlembar takbir menggema
Menancapkan nada-nada penyerahan pada Sang Maha Agung
Yang mencipta semesta dengan kuasaNya

Tak terasa air mata meleleh di pelupuk mata
Saat hati tak kuasa mengingat dosa
Ingin rasanya bertemu sang kuasa
Bersimpuh pada kasih sayangNya

Semilir angin bertiup membawa pesona
Selaksa seruling yang mencipta nada kehidupan
Membahana ke penjuru jagat raya
Saat umat terlelap di pangkuan nafsu dunia

Jambu, 29 Juli, `09

Ruang Cahaya

Di sepertiga malam yang terakhir ini,
aku mencoba menguak dimensi ruang dan waktu
Sejenak meninggalkan jubah kesombongan yang terurai
Dan gairah-gairah semu yang didalangi oleh guratan nafsu
Sedapat mungkin aku bertahan meski semilir angin terus menggodaku

Aku melayang mengikis tipisnya udara yang menghalangi lajuku
Menerkam dedaunan yang semakin layu
Aku menerawang dan menembus serpihan harapan yang tersisa
Mengisi bejana mimpi dengan sebuah perenungan baru

Akan kucoba anyam segalanya
Hingga menjadi selembar tikar yang bisa diduduki
untuk sebuah peghambaan panjang
Akupun mulai menyelami dangkalnya praduga
Kemudian menyeretnya bersama buih ombak hingga sampai ke tepian hati

Akupun berjalan diantara puing-puing jaman yang kian gelap
Menyusuri lembah kegalauan yang terjerembab
Melaju tanpa arah yang semakin dalam
Hilang dibalik dekapan mesra beribu-ribu cahaya

Memancar disudut singgasana yang terpantulkan oleh lembaran metafora
Hingga akhirnya aku sampai pada ruang yang terang
Yang menampakan bermiliyaran cahaya yang teramat terang

Aku luluh dihantam keriangan
Aku tertunduk dilumuri ketakjuban
Saat mencerna kekuasan Sang Maha Kuasa
Yang tak pernah berhenti menebar cinta

Rangkasbitung, 05-07-`09

Untuk Sebuah Kesombongan

Ketika senjata itu melayang
Melukai jiwa yang beterbangan
Bersimbah darah dengan luka menganga
Ketiak ketajamannya menyayat rintihan jiwa-jiwa manusia
Korban-korban tak berdosa
Berteriak seperti binatang katakutan
Menggetarkan kesunyian

Tapi jutaan senjata itu terus menembus
Menengguk rasa hampa darah-darah
Menciumnya seperti mentari menjilati bumi
Tanah-tanah yang msih memerah
Bercampur debu kesombongan
Begitu sunyi alam yang teramat indah
Tatkala kebisingan senjata
Berubah menjadi nyanyian sendu
Saat jasad manusia kembali menjadi abu

Pantaskah

Jauh dari mata kami yang tak setahta
Melongok jeruji kumpulan besi dari tangan-tangan pandai
Di singasana dikediaman para raja

Pantaskah…
Apa yang ada dibenakmu wahai penghuni kursi yang agung
Tahukah engkau kami rela duduk tak berkursi hanya untuk membuatmu duduk
Nafas kami telah habis tengelam oleh keringat kami untuk menambang
Membangun singasanamu untuk beribu harap
Sebegitu pantaskah untuk semua itu…?

Serakah

Berulang kali kau ulangi
Janji-janji yang tak pernah terbukti
Bicara di atas mimbar bagai terpuji
Sedangkan di luar kau berbuat keji

Apa yang tersembunyi dibalik kata-kata mu
Apa yang tersembunyi dibalik janji manismu
Semua hanya barang rongsokan di pinggir jalan
Kotor, bahkan lebih kotor dari kotoran hewan

Setiap musibah yang terjadi pada kami
Kau gunakan untuk kepentingan pribadi
Dengan dalih keprihatinan dan kemanusiaan
Kau bohongi kami secara perlahan-lahan

Tak cukupkah kekuasaan yang telah diamanatkan padamu
Tak puaskah kau miliki mobil mewah dan uang melimpah
Hingga tangisan dan darah kami kau mabil juga
Demi nama besar dan kesombongan yang kau banggakan
Sampai kapan keserakahan akan kau taburkan
Sampai kapan kebohongan akan kau sebarkan
Tak sadarkah kau pada penderitaan yang kami lamai
Hingga kau ingkari semua yang terjadi

Sabtu, 02 April 2011

Memoar sang Pencinta

Aku pecinta sejati, kehangatan cintaku terpancar menerpai setiap lipatan kerinduan, lalu membelai seluruh kerisauan. Kesetiaanku adalah sebongkah sinar yang aku pancarkan untuk menyentuhmu. Aku kangen mencintaimu, aku kembali untukmu, akan aku curahkan seluruh milikku padamu, resaplah aku kedalam jiwamu, biar aku gemburkan kerasnya hatimu, akan aku retakkan dinding waktu dengan tangan cinta. Karena aku adalah garis-garis cinta yang berserakan, garis yang disadap dari pancaran cahaya.
Aku memanggil namamu tiap malam, di sudut sepi taman cinta, kutanam bunga penuh maknayang paginya bermekaran di halaman rumahmu, memang terlampau jauh aku mengulum angan, meski fatamorgana serasa telah menjelma berjuta asa.

Sebentuk tubuhku serupa bola mata, yang merangkak ke bumi, menapaki perbukitan, memanjati pepohonan, lalu menyusuri tebing curam, untuk sejenak kemudian aku berada diatas, di antara sawah-sawah dan gunung-gunung.

Kepadamu aku memohon, maknai dan resapi sesuatu yang aku bingkis khusus buatmu, olahlah bingkisan itu ditungku cinta, meski aku bukanlah cahaya, tapi jadikan aku setemaram lentera, biar aku dapat meresap masuk ke jantung dan relung hatimu.
Langkahmu berkilauan saat kutempa di riak-riak damba, aku selalu melirikmu dalam setiap perjalanan yang kau tempuh, mimpi-mimpi yang kau ukir di sudut malam, dan dalam setiap tingkah candamu yang membuatku rindu.

Aku tak perlu cinta yang banyak, bagiku cukup satu saja, tapi abadi untuk selamanya, hidup dalam buaian benih-binh penuh kasih, yang dipayungi oleh berjuta ketulusan dan bergelak mesra di taman kemesraan.

Cintaku tak akan surut, karena cahayamu adalah bagian hidupku, bagiku kau lebih indah jika bersemayam dalam relung hati, ketimbang berseliweran dalam angan.

Sebuah Tanya

Ada apa sebenarnya dengan bangsa ini, semua orang berteriak lantang mnyombongkan nama besar golongannya, Agamanya, dan nenek moyangnya, tak ada yang mau mengalah, berebut keuntungan dari berbagai kekacauan, padahal semua mengaku beragama, beretika dan berpendidikan, tapi apa yang terjadi sangat kontaras dengan makna berpendidikan, dengan titel yang menempel di depan dan belakang namanya, bertolak belakang dengan ibadah yang mereka lakukan, kata-kata yang mereka ucapkan, semua hanya omong kosong belaka, semua palsu, tanpa makna, semua dilakukan hanya mngejar kekuasaan semata, kedudukan yang tinggi, alat memperkaya diri, melaui jalan menindas sesama, menebar kebohongan. Sedang di pinggiran kota sana ada banyak orang yang menjerit menahan lapar, dan sebagian lainnya bergelimang dalam kebodohan dan kemiskinan.

Inilah wajah bangsa kita, dengan lika-liku hidupnya yang tak menentu, kadang surut, kadang pasang, dan banyak gelombang, yang tercoreng oleh polesan janji palsu para pemimpinnya, yang ternoda oleh ulah biadab para pejabat korup, tertipu oleh bualan para wakil rakyatnya, hingga tak aneh lagi di negri ini tak akan ditemukan seorang pemimpin, yang ada hanya seorang penguasa.

Entah apa yang menyebabkan semua ini terjadi, hingga satu keluarga jadi penguasa, jadi dinasti yang berkuasa, hingga orang yang tak sekolah pun bisa jadi wakil rakyat, yang berijazah palsu pun bisa jadi penguasa, lalu lihatlah rakyatnya, hanya jadi tumbal meraup keuntungan pribadi penguasa, jalan pintas memperkaya kantong sendiri, jembatan untuk korupsi.

Siapa yang salah? Ah kita tak perlu lagi ragu, bahwa yang salah adalah sistem yang dijalankan saat ini, sehiungga sistem yang salah akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang salah, dan pola pikir kita yang masih saja belum maju, masih tak pahami arti dari sebuah kemajuan bernegara dan berbangsa.

Imaji Liar

Ada sekian banyak pikiran-pikiran aneh menggelayuti kepalaku, yang tersusun rapi dalam sebuah pusaran mimpi dan imajinasi, mengelupas laksana kepompong yang siap menjadi kupu-kupu. Saat ini mimpi-mimpi dan imajinasi itu beterbangan di alam bebas, di angkasa raya, menuju bintang-bintang, sampai menggapai rembulan, lalu membentur planet-planet dan ribuan galaksi hingga kemudian turun lagi ke dasar bumi, menyusuri batuan-batuan, hampir tak tertembus lagi oleh cahaya. Itulah gambaran dari metafora mimpiku yang sulit dan mungkin saja terlalu berlebihan.
Seperti saat ini, aku bermimpi melintasi gurun sahara di daratan Afrika, lalu berjalan menuju benua Eropa, untuk melihat panorama kota-kota modern dan bangunan-bangunan bersejarah di berbagai negaranya, setelah puas aku akan melanjutkan perjalanan ke Yunani, untuk mengunjungi kota-kota penghasil para filosof ternama, nah dari sana aku ingin melintasi daratan Asia Tengah, ke pedalaman Arabia, mengunjungi beragam kebudayaan timur tengah, dan yang paling penting adalah mengunjungi bukti sejarah para nabi-nabi dan para sahabat Rasulullah, setelah itu semua kulakukan, maka aku akan bertafakur di depan ka`bah, di kota Mekkah terus langsung ke Madinah, di sanalah perjalanan kuakhiri.

Itulah mimpi-mimpiku dalam hal imajinasi liar, yang mengerucut dalam cendawan khayalan, semua terasa mudah untuk dilukiskan dalam kanvas pikiranku, penuh keharuan, penuh harapan, mimpi yang hebat, tinggi, dan sangat dalam, semoga saja semua bisa kulakukan dalam dunia yang nyata.

Suara Bumi

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu masa, dimana cinta dan kasih sayang tak ubahnya seperti bualan. Kebohongan merebak dimana-mana bagaikan penyakit ia menjadi lepra yang menjangkiti setiap jengkal tubuh manusia, semua orang tertatih-tatih dalam pusaran metapora, tenggelam mengikuti irama kontradiksi pengetahuan, lalu jiwa-jiwa menjadi hampa, kosong tak bermakna. Dimensi waktu kian memunculkan paradigma baru, ditengah-tengah hamparan nafsu manusia yang tak ada habisnya, ia menukik tajam menembus cakrawala pemikiran, melesat hingga menjadi mesin pengendali.

Saat ini semua fragmentasi nalar kian kokoh di puncak otoritas kapitalisme, dengan menampakan wajah modernisme dan liberalismenya, mereka kian memberangus nilai-nilai lokalitas budaya kita, lalu kita terjebak pada keadaan saat ini, terombang-ambing di lautan fragmatisme, yang setiap saat bisa menenggelamkan dan menelan tubuh kita dalam komoditi bingaki-bingkai fatalisme.

Manusia telah menjadi objek dalam dramatisasi dunia, ia kini tak ubahnya butiran-butiran pasir di tengah lautan, yang secara tiba-tiba berambisi ingin menjadi daratan, dengan naluri kekuasaannya, manusia akan terus saling menjatuhkan, saling memusnahkan. Dan ambisi pribadi kian menjadi kuasa atas nalar dan intuisi.”