Selasa, 24 Januari 2012

PENGUATAN TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PROSES PENGANGGARAN DAERAH


Sejumlah permasalahan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, seolah mempertanyakan kembali akan peran dan keberadaan pemerintah di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Cita-cita yang diharapkan bisa membentuk dan memperlengkapi masyarakat dengan kemampuan dan kapasitas yang lebih baik belum menunjukkan hasil yang nyata. Penguatan peran dan fungsi masyarakat dalam pembangunan masih dipertanyakan. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah program-program pemerintah yang seyogianya diharapkan berhasil malah menunjukkan hasil yang sebaliknya. Salah satu contoh program tersebut adalah program BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang malahan mengakibatkan bertambahnya jumlah orang miskin dan pada akhirnya pemerintah sendiri mulai memikirkan ulang kelanjutan program tersebut dan bahkan berencana menggantinya dengan program lain. Mungkin dari hal tersebut bisa dimunculkan suatu pertanyaan “apakah cukup hanya menempatkan masyarakat sebagai penikmat atas apa yang dilakukan pemerintah tanpa melibatkan mereka sebagai penentu kebutuhan mereka sendiri?”. Dalam hal ini, pemantapan peran dan fungsi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan konsep good governance. Pemantapan peran dan fungsi tersebut tidak cukup hanya dengan menjabarkannnya ke dalam bentuk konsep atau aturan normatif (regulasi) saja, sebab konsep dan regulasi tersebut hanya merupakan acuan dasar untuk mulai menerjemahkannya ke dalam bentuk yang nyata dan aplikatif, baik itu program-program kerja pemerintah, proyek pengentasan kemiskinan ataupun regulasi/deregulasi wewenang yang lain.

Pendahuluan
Patut diakui bahwa masyarakat memang mempunyai peran dan fungsi tersendiri, tetapi pemantapan dan pelembagaannya tentu sangat sulit dilakukan. Imbas yang terjadi kemudian, masyarakat masih dipandang sebagai aktor kesekian dari setiap proses perumusan kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Kekuatan untuk saling mempengaruhi dan daya tawar (bargaining position) hanya didominasi oleh pemerintah dan swasta, padahal hasil dan akibat yang muncul adalah (kalau tidak bisa dikatakan sepenuhnya) ‘konsumsi’ masyarakat umum. Ketidakseimbangan ini yang menjadi sumber penghambat mulusnya keterlibatan masyarakat dalam memutuskan kehidupannya sendiri sebab hubungan yang terbangun adalah hubungan yang bercirikan birokratis dan tertutup terhadap masyarakat. Patut diakui tidak mudah untuk menerapkan dan merealisasikan pengertian di atas menjadi program-program nyata dan berdayaguna. Permasalahan tersebut sejalan dengan mandegnya roda pembangunan yang sudah berjalan beberapa dekade sebelumnya.
 ‘Keterbelakangan’ dan ‘ketertinggalan’ masih menjadi istilah yang mendominasi untuk menjelaskan kegagalan  pembangunan/keadaan saat ini. Hal yang perlu dilakukan segera adalah memunculkan, mengelola, dan memantapkan peran serta masyarakat baik secara ekternal maupun internal, lalu melembagakannya apabila hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan. Peran tersebut bisa dilakukan baik oleh pemerintah, sektor swasta, atau masyarakat itu sendiri.
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hak masyarakat. Hak ini terkait dengan prinsip partisipasi yakni masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Partisipasi bukan hanya berupa kehadiran masyarakat atau perwakilan masyarakat di dalam kegiatan-kegiatan seremonial perencanaan. Partisipasi seharusnya berwujud aspirasi, akses, dan kontrol. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan dalam mempengaruhi dan mewarnai keputusan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Persoalan anggaran daerah kini tidak lagi bisa dimonopoli dengan kehendak hati penguasa dan birokrasi. Anggaran daerah, telah dipahami oleh publik yang semakin cerdas dan melek politik sebagai instrumen penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya. anggaran dituntut lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat. Masalahnya, membuat anggaran menjadi sesuatu yang ideal tidaklah semudah membalik telapak tangan. Selain belum berpengalamannya pemerintah daerah membuat anggaran yang ideal, infrastruktur penyerapan aspirasi masyarakat juga masih lemah.
Oleh karenanya, pembelajaran menjadi penting adanya. Para kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, serta legislatif yang semakin radar posisi di mata rakyat adalah sebuah harapan bagi upaya mengakomodasi kepentingan rakyat seefektif mungkin. Lebih dari semua itu, masyarakat juga harus terus memperkuat inisiatif untuk membuka ruang-ruang dialog dan partjsipasi, memperkuat barisan pengorganisasian rakyat, serta ikut melakukan pengawasan atas jalannya pengelolaan pemerintahan daerah.

Transparansi dalam Kebijakan dan Penganggaran
Transparansi merupakan salah satu karakteristik dari good governance. Karena itu asas transparansi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah menjadi satu hal yang sangat penting sekaligus menjadi momok bagi oknum-oknum yang dapat terhambat aktivitasnya karena asas ini. Karena dalam transparansi terkandung juga didalamnya secara tersirat bagaimana pemerintah daerah harus melaporkan rencana, pengelolaan dan juga laporan akhir yang berupa laporan keuangan anggaran-anggaran yang dibutuhkan dan juga digunakan oleh pemerintah daerah secara transparan sehingga masyarakat luas dapat ikut mengetahuinya. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsive terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Sehingga transparansi itu sendiri dapat menjadi penjamin kebebasan dan hak masyarakat untuk mengakses informasi yang bebas didapat, siap tersedia dan akurat yang berhubungan dengan pengelolaan rumah tangga di pemerintah daerah mereka sehingga akan menyebabkan terciptanya pemerintahan daerah yang baik dan memikirkan kepentingan masyarakat.
Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi pada masyarakat dan kejelasan tentang peraturan, undang-undang dan keputusan pemerintah. Yang indikatornya menurut Asian Development Bank (ADB) adalah :
·      Akses pada informasi yang akurat dan tepat waktu (accurate & timely) tentang kebijakan ekonomi dan pemerintahan yang sangat penting bagi pengambilan keputusan ekonomi oleh para pelaku swasta. Data tersebut harus bebas didapat dan siap tersedia (freely & readily available).
·      Aturan dan prosedur yang ”simple, straightforward and easy to apply “ untuk mengurangi perbedaan dalam interprestasi.
·      Penyediaan informasi yang jelas tentang prosedur-prosedur, biaya-biaya dan tanggung jawab.
·      Kemudahan akses informasi.
·      Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap.
·      Meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintah.
Hal diatas mensyaratkan bagaimana seharusnya pemerintah daerah memuaskan rasa keingintahuan dari masyarakat tentang jalannya pemerintahan daerah mereka dengan cara mentranparansikan laporan-laporan kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan juga bagaimana pemerintah daerah dapat mengetahui aspirasi masyarakat dengan menyediakan alat-alat bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat ikut mengontrol berjalannya pemerintah daerah di daerahnya sendiri.
Penguatan Partisipasi Masyarakat
Tidak banyak orang awam di Indonesia yang paham bahwa anggaran negara, baik di tingkat nasional ataupun sub-nasional (Propinsi, Kabupaten, Kota atau Desa), sangat berpengaruh pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik sehari-hari. Persoalannya karena ketidakpedulian masyarakat awam, ataupun tiadanya akses untuk memperoleh informasi yang memadai bagi semua lapisan masyarakat. Hal yang pertama dapat ditelusuri dari kurang antusiasnya reaksi atau tanggapan masyarakat terhadap pengumuman anggaran baik di tingkat nasional, propinsi ataupun kabupaten/kota. Hal yang kedua karena ketertutupan pemerintah untuk memberikan informasi yang rinci pada masyarakat, bahkan cenderung enggan mengumumkan dan mempublikasikannya secara luas. Ini adalah warisan masa lalu yang selalu menutupi rincian anggaran sampai pada pihak-pihak (instansi/dinas) yang bertanggung jawab membelanjakannya.
Masalah yang kita hadapi yaitu kemiskinan, bukanlah sekedar persoalan kekurangan makan atau rendahnya penghasilan. Kemiskinan sebaiknya dipahami pula sebagai ketiadaan kemampuan individu atau kelompok untuk keluar dari kesulitan ekonomi, sosial dan politik karena terciptanya struktur masyarakat yang menindas dan kebijakan pemerintah yang mengungkung proses pembebasan dari penindasan. Ketiadaan ini menyebabkan kemampuan rakyat untuk mengakses keputusan yang strategis-termasuk penganggaran- sangat lemah dan cenderung tidak pernah diberdayakan. 
Peran dari Organisasi non-pemerintah juga sangat besar dalam memperkuat daya kritis masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan khususnya penganggaran. Ada dua sisi yang harus diperhatikan dalam penganggaran. Pertama, di sisi penerimaan baik berupa penerimaan pajak, non-pajak dan hibah. Kedua, di sisi belanja berupa belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah. Belanja pemerintah pusat, demikian pula pada umumnya belanja pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, terdiri dari belanja rutin (operasional) dan belanja pembangunan (investasi kapital). Belanja rutin utamanya untuk belanja pegawai, belanja barang dan perlengkapan kantor di departemen atau dinas-dinas di daerah. Sedangkan belanja pembangunan umumnya terbagi dalam sektor-sektor kegiatan yang terbagi dalam beberapa besaran seperti: pendidikan, industri, tenaga kerja, kesehatan, dan seterusnya.
Organisasi non-pemerintah khususnya yang bergelut dalam hal anggaran, dapat memberikan analisis dan informasi yang terandalkan (kredibel), membuka akses yang luas bagi masyarakat, dan memberikan sumbangan pemikiran bagi debat tentang anggaran pada saat yang tepat. Tentu saja peran ini harus ditujukan untuk mempengaruhi bagaimana isyu-isyu anggaran diarahkan, bagaimana membangun prioritas yang sesuai dengan tuntutan kaum miskin dan keputusan yang berpihak pada yang tertindas. Penentuan prioritas, bahkan sering ditandai dengan besarnya anggaran yang dialokasikan, menjadi indikator komitmen dari pemerintah terhadap masalah dan kebutuhan nyata dalam masyarakat. Sebab itu kepedulian pemerintah terhadap penderitaan masyarakat miskin harus pula ditandai dengan penajaman prioritas untuk memperkuat daya kemampuan masyarakat miskin dan tersingkir. Perubahan cara pandang harus dilakukan dan dapat dimulai oleh pemikiran yang kritis dan cermat dari masyarakat sipil untuk memahami anggaran.
Penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance) memang harus memposisikan warga negara sebagai aktor yang aktif dalam semua proses politik kepemerintahan, termasuk pembuatan kebijakan publik. Untuk itu, partisipasi politik warga harus diberi ruang yang luas, bukan hanya terbatas pada saat pemilu (partisipasi lima tahunan), akan tetapi juga dalam setiap perumusan, implementasi dan pertanggungjawaban kebijakan publik (partisipasi politik sehari-hari). Tentu saja prasyarat utamanya adalah tersedianya mekanisme dalam struktur formal kepemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Partisipasi publik dalam proses kebijakan—yang mengikat seluruh warga—adalah cara efektif untuk mencapai pola hubungan setara antara pemerintah dan rakyat. Di negara-negara demokrasi, partisipasi warga dalam proses kebijakan merupakan hal yang lazim. Partisipasi publik dalam proses kebijakan tidak hanya merupakan cermin demokrasi yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari melainkan juga bermanfaat bagi pemerintah. Permasalahan yang datang silih berganti—dan tidak sedikit yang rumit—telah membuat pemerintah tidak cukup sensitive atau memiliki waktu menentukan prioritas kebijakan. Keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan akan membantu pemerintah mengatasi persoalan dalam penentuan prioritas kebijakan. Selain itu, karena masyarakat terlibat dalam proses kebijakan, dengan antusias masyarakat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan kebijakan. maka diharapan implementasi kebijakan akan berhasil baik.
Upaya pembangunan kapasitas partisipasi baik dalam hal anggaran maupun kebijakan publik lainnya terasa makin relevan dan mendapatkan momentum dengan palaksanaan otonomi daearah sejak 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat- Daerah. Inti otonomi daerah ialah mendekatkan layanan publik {public services) kepada masyarakat melalui pemberdayaan pemerintah daerah dan masyarakat. Proses perumusan kebijakan merupakan aktivitas yang bersifat politis, teknokratis dan (seharusnya) partisipatif. Proses ini meliputi tahapan yang saling terkait dan diatur menurut urutan waktu, yakni formulasi kebijakan, proses penganggaran dan penetapan kebijakan, implementasi kebijakan, dan pertanggungjawaban kebijakan.
Untuk mengetahui apakah suatu kebijakan betul-betul sudah memihak kepada publik dapat dilihat dari sejauh mana kebijakan tersebut mengadopsi prespektif hak dasar. Sebab, pendekatan berbasis hak (right base approach) berimplikasi pada cara pandang terhadap hubungan negara dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, di mana negara berkewajiban memenuhi hak-hak tersebut secara bertahap dan progresif.
Partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan anggaran sangat penting hal ini disebabkan beberapa alasan antara lain : Pertama, kondisi pemerintahan masa transisi masih penuh tanda tanya besar kemana kebijakan strategi anti kemiskinan akan diarahkan. Hal ini berarti belum terdapat kejelasan mengenai bagaimana memperoleh dana yang memadai untuk membiayai program-program bantuan bagi masyarakat yang miskin dan yang rentan menjadi semakin sulit dalam gejolak ketidakpastian ekonomi dan politik.
Kedua, memperjelas tentang siapa yang menanggung beban sosial dan ekonomi dari belanja pemerintah yang seharusnya lebih adil dan didasari pada kemampuan membayar dari setiap individu warganegara.. Kenyataan  yang dihadapi memang terasa masih belum adil. Rakyat yang miskin harus menanggung hutang, sedangkan mereka yang memanfaatkan dana hutang untuk kepentingan pribadi – termasuk praktik korupsi - masih belum dituntut sepenuhnya untuk menutupi dan mengembalikan hutang tersebut.
Ketiga, dalam rangka menunjang semangat partisipasi yang demokratis di masa depan, maka peran rakyat dan masyarakat sipil harus lebih besar dalam setiap proses pengambilan keputusan yang strategis, khususnya penentuan prioritas kegiatan pemerintah dan alokasi anggarannya. Tiadanya partisipasi yang demokratis menjadi petanda bahwa kegiatan yang disusun pemerintah tidak memiliki semangat kebersamaan dan berakibat pada rendahnya tingkat kepercayaan rakyat pada pemerintah.

Pemberdayaan Peran Steakholders
Sebagai suatu proses maka perencanaan dan penganggaran pembangunan yang partisipatif akan mencakup sejumlah tahapan yang harus dilalui dengan melibatkan seluruh stakeholders. Tahapan-tahapan ini diawali oleh kegiatan identifikasi kebutuhan dan potensi daerah dan diakhiri dengan kegiatan monitoring dan evaluasi dalam rangka memperoleh umpan balik untuk penyusunan visi dan misi berikutnya.
Dalam keseluruhan langkah tersebut, perlu didesain lingkup partisipasi yang diperlukan bagi stakeholders. Lingkup partisipasi ini menyangkut penentuan siapa yang akan dilibatkan dan dalam perencanaan yang bagaimana ia harus dilibatkan. Model partisipasi yang melibatkan masyarakat luas lebih tepat diterapkan bagi perencanaan yang menyangkut kepentingan umum atau pembangunan yang berbasis wilayah. Sementara model partisipasi terbatas dapat diterapkan dalam perencanaan yang sifatnya strategis yang menyangkut identifikasi dan penentuan kebijakan-kebijakan yang membutuhkan pemikiran dan skala prioritas yang visioner. Untuk tahapan perencanaan strategis, akan lebih tepat jika stakeholders yang dilibatkan adalah kelompok-kelompok ahli yang kompeten karena menyangkut dimensi teknokratis dari perencanaan pembangunan.
Dengan demikian, untuk menerapkan perencanaan partisipatif dalam pembangunan daerah masih diperlukan upaya untuk mendesain model partisipasi publik yang sesuai dengan kebutuhan, terutama menyangkut lingkup partisipasi yang sesuai. Di sisi lain, implementasi konsep perencanaan dan penganggaran partisipatif juga tidak akan berhasil tanpa didukung oleh sejumlah prasyarat yang mencakup perubahan struktur dan kultur dalam masyarakat daerah, antara lain (1) adanya upaya pelibatan seluruh stakeholders; (2) adanya upaya pembangunan institusi masyarakat yang kuat dan legitimit; (3) adanya proses politik melalui upaya negosiasi yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan kesepakatan bersama; (4) adanya usaha pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui kebutuhannya, kapasitas yang dimilikinya, mampu mengidentifikasi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, serta memilih alternatif terbaik yang paling sesuai dengan kapasitasnya; (5) upaya ke depan untuk mendukung proses perencanaan dan penganggaran pembangunan secara partisipatif seharusnya lebih berfokus pada pengembangan kapasitas di tingkat sistem, institusi, dan individu untuk menjamin kontinuitas perkembangan inovasi dan konsepnya pada masa yang akan datang.

Sinergisitas Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan mampu menjalankan tugasnya untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan rakyatnya dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu dibutuhkan hubungan yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat agar tujuantujuan dari pembangunan bisa tercapai. Hubungan tersebut dapat dijalankan melalui koordinasi, integrasi, simplifikasi dan sinkronisasi yang baik. Sehingga program dan kegiatan antara pemerintah pusat dan lokal, atau pemerintah lokal dengan masyarakat tidak tumpang tindih atau berseberangan. Beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi untuk terjadinya sinergi antara masyarakat dengan pemerintah yaitu :
1.      Adanya komplementaritas, dimana pembagian tugas diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan komunitas dan badan pemerintah dapat menggunakan keunggulan komparatif mereka dengan sebaik-baiknya dan berbagi beban kerja sesuai dengan kesanggupan masing-masing untuk mengerjakannya dengan cara yang terbaik;
2.      Keterhubungan (embededness), adalah interaksi yang berkesinambungan antara pejabat-pejabat instansi pemerintah dengan para individu-individu dan dengan komunitas masyarakat.
Secara makro, peranan pemerintah di dalam pembangunan adalah sebagai: (1) modernisator, (2) katalisator, (3) dinamisator, (4) stabilisator, dan (5) pelopor. Sebagai modernisator, pemerintah harus mampu membawa perubahan-perubahan dan pembaharuan kepada masyarakat. Sebagai katalisator, pemerintah harus dapat mengenali faktor-faktor yang mampu mendorong laju pembangunan dan menarik manfaat yang sebesar-besarnya. Sebagai dinamisator, memberikan bimbingan dan pengarahan. Sebagai stabilisator, pemerintah berusaha menciptakan suasana yang tertib yang aman. Sebagai pelopor, pemerintah harus mampu menunjukkan contoh-contoh nyata yang baik dan membangun dalam tindakan. Peran yang ada di dalam masyarakat antara lain memberikan kontribusi atau bantuan (baik materil maupun non materil), bersikap responsif bukan reaktif terhadap perubahan atau pembangunan, komunitas yang belajar, dan berusaha untuk keluar dari masalah sendiri tanpa bergantung pada pihak lain (self reliance).

Penutup
Walaupun kendala oprasional masih sangat besar dan kental menghalangi implementasi dari partisipasi anggaran yang sesungguhnya. Namun kita masih memiliki semangat untuk mewujudkannya. Unsur yang harus tetap dijaga dan tingkatkan antara lain:  (1) adanya upaya pelibatan seluruh stakeholders; (2) adanya upaya pembangunan institusi masyarakat yang kuat dan legitimit; (3) adanya proses politik melalui upaya negosiasi yang pada akhirnya mengarah pada pembentukan kesepakatan bersama; (4) adanya usaha pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui kebutuhannya, kapasitas yang dimilikinya, mampu mengidentifikasi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, serta memilih alternatif terbaik yang paling sesuai dengan kapasitasnya; (5) upaya ke depan untuk mendukung proses perencanaan dan penganggaran pembangunan secara partisipatif seharusnya lebih berfokus pada pengembangan kapasitas di tingkat sistem, institusi, dan individu untuk menjamin kontinuitas perkembangan inovasi dan konsepnya pada masa yang akan datang.
Perjuangan untuk membantu kaum tertindas harus dimulai dari cara yang paling sederhana namun efektif. Keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas anggaran adalah salah satu cara strategis yang harus diperjuangkan. Kesulitan pasti ditemui di lapangan karena kultur politik dan struktur birokrasi yang masih cenderung tertutup. Tetapi dengan adanya transparansi dan partisipasi publik dalam proses kebijakan anggaran  yang dibangun oleh  Komisi Transparansi dan Partisipasi, organisasi non-pemerintah maupun lapisan masyarakat lainnya, mudah-mudahan dapat mengarahkan perhatian yang lebih besar dan kebijakan yang lebih arif dari pemerintah untuk mengatasi kemiskinan struktural di Indonesia, khususnya di Kabupaten Lebak yang tercinta ini.. Wallahu`alam bisshawab.


Daftar Pustaka
·      Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.
·      Puriyadi ,Siasat Anggaran: Posisi Masyarakat dalam Perumusan Anggaran Daerah ,PT. TIARA WACANA Yogyakarta. 2007
·       R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama Press,   2001)
·      UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat- Daerah
·      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
·      Forum USDRP-Indonesia, Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi/Partisipasi Publik, http://www.usdrp.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan