Sabtu, 03 Desember 2011

Celoteh di Tepi Malam


Malam melaju mencumbui fajar dengan tenangnya, namun kantukku tidak juga datang, hanya risau yang bergerayang pada akhir perjumpaan malam ini. Seperti sebongkah batu masuk dalam kepalaku, begitu berat, pusing menggelinding kesana kemari hingga aku terkesiap. Aku beringsut bangun. Menyeka keringat yang meleler tumpah ruah ke muka kusamku.


Kucoba sedikit demi sedikit menenangkan gejolak fikiran yang berkecamuk ini. fikiran kalut tentang haru biru kisah-kasih berkesah, antara kau dan aku. Antara kenagn-kenangan yang terlewati diujung jalan itu, antara keresahan dan pengharapan.


Dan mulai saat itu ribuan bibit sajak cinta terhadapmu mulai menyemburat dalam laju darahku. Bibit cinta yang aku sendiri bingung dari mana asalnya. Akhirnya, bersama kita menjalani larut. Menyibak tirai keheningan malam. Merangkaki waktu untuk sebuah kehidupan baru. Menggoreskan episode-episode rasa antara kau dan aku pada sebuah kanvas cinta

Sering aku membaca, menakar-nakar dari raut wajahmu. tergambar jelas, bahwa dirimu tidak ingin berlama-lama dalam romantisme hitam masa lalu. Tidak semua kaum hawa mampu untuk bertahan pada masalah-masalah suram yang menghujam dinding-dinsing tubuh mereka.

Setiap  hari, kita bercengkrama. Berdendang dengan nuansa berbeda. Nuansa yang kita anggap memiliki kenikmatan tersendiri. Keunikan yang penuh keunikannya sendiri, Mencibir setiap kata-kata sinis-meruncing tentang persaan kita, tentang apa saja yang aku dan kamu rasa itu perlu diperdebatkan, sungguh aku menikmati nuansa ini. Bergelut dengan perbedaan tafsir yang mendengus dalam rongga-rongga diri kita, bukan bergelut untuk menyulut api ribut, kita bergelut dalam akar yang menghargai arti masing-masing dengus. Antara apa yang bergerayang di otakku juga otakmu. Ah, kau memang istimewa. Seperti samudera yang penuh dengan air kesejukan, seperti angin yang menghembuskan ketenangan,.
Aku selalu mengatakan kepadamu tentang arti sebuah pengharapan. Pengharapan yang kusebut sebagai nafas bagi orang-orang semacam kita. Agar kau tahu, bahwa pergumulan jiwa__antara kau dan aku, membutuhkah nafas untuk tetap mekar. Laksana bunga yang merekah di taman yang indah.

Saat ini aku menengadah di bawah langit. Mengadukan kegundahan ini. Entahlah, hingga memasuki subuh. Sudah ratusan nada dan lirik kata datang dan pergi di kepalaku ini. Semua karena aku begitu menyanjung kesucian rasa antara kau dan aku. Kau tahu, janji terhadap rasa itu kuletakkan di keningmu. Tempat di mana semua kebesaran bersarang untuk diagungkan. Organ tubuh yang sering ku ciumi itu.

Kembali lagi kucoba membaringkan tubuh lesu ini. Berharap kantuk menghampiri barang sejenak. Tetap tak bisa! Bayanganmu begitu kuat di pelupuk mataku. Hanya lambaian tanganmu pada akhir perjumpaan waktu itu yang bergerayang. Baiklah. Aku pasrahkan saja semua bayanganmu menjamahi tempurung kepalaku ini. Siapa tahu aku terlelap dalam kasur kegelisahan. Karena aku tak mampu membendungnya. Karena semakin kubendung, maka semakin membuncah rasa kerinduan dan ketakutanku pada rasa antara kita berdua.

Rangkasbitung, 3 - 12 - `11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan