Kamis, 01 Desember 2011

Musrenbang; Prioritas atau Formalitas ?

Oleh : Nurul Huda

Dalam siklus penyusunan APBD, awal tahun saat ini adalah waktu untuk melakukan proses awal perencanaan APBD, yakni Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) sampai  Musrenbangkab (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten). Pada momen ini, masyarakat bersama-sama merumuskan kebutuhan pembangunan yang akan dijalankan di dusun atau desa bersangkutan sebelum kesepakatan itu dibawa ke tingkat kecamatan dan seterusnya Kabupaten.





Namun sampai saat ini Musrenbang belum mencerminkan partisipasi anggaran masyarakat setempat. hingga mengerucutkan beberapa persoalan di antaranya: (1) sistem dan mekanisme perencanaan dan penganggaran belum terintegrasi; (2) penentuan prioritas usulan masyarakat lebih kuat dipengaruhi pertimbangan politis dan lobi eksekutif; (3) Musrenbang sekadar formalitas (masyarakat lebih menganggap sebagai ritual tahunan, bukannya sebuah proses yang berkesinambungan); (4) minimnya informasi yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif pada tingkat masyarakat; (5) peserta dan/atau fasilitator hanya sebatas mengidentifikasi masalah, tidak mampu melakukan analisis sehingga tidak menemukan kebutuhan dan pemecahannya secara benar;

Beberapa persoalan yang sering terjadi selama ini dalam kacamata skeptis melahirkan tanya: masih urgenkah Musrenbang bagi masyarakat kita saat ini? Skeptisisme ini terkuak tatkala kita mencermati berbagai temuan di atas. Selain itu, Musrenbang saat ini sepertinya menjadi ”proyek” tahunan pemerintah daerah tanpa ada upaya edukasi anggaran bagi masyarakat. Lebih miris lagi jika suara-suara masyarakat yang mengkristal dalam Musrenbang di desa, hilang lenyap ditelan belantara birokrasi dan politis ketika berada pada tahap musrenbangkab.


Hak Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran adalah hak masyarakat. Hak ini terkait dengan prinsip partisipasi yakni masyarakat harus diberdayakan, diberi kesempatan, dan diikutsertakan untuk berperan mulai dari tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Partisipasi bukan hanya berupa kehadiran masyarakat atau perwakilan masyarakat di dalam kegiatan-kegiatan seremonial perencanaan. Partisipasi seharusnya berwujud aspirasi, akses, dan kontrol. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan dalam mempengaruhi dan mewarnai keputusan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran pembangunan.

Dari 8 tingkatan partisipasi yakni manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, penentraman, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, kontrol masyarakat, masyarakat kita masih berada pada level manipulasi hingga penentraman. Pada level ini tingkat pembagian kekuasaan berciri tak ada partisipasi hingga sekadar justifikasi agar masyarakat mengiyakan. Yang pemerintah buat melalui terapi bertujuan sekadar agar masyarakat tidak marah; pada pemberitahuan sekadar informasi searah/sosialisasi; pada tingkat konsultasi masyarakat didengar, tetapi saran mereka tidak selalu dipakai. Padahal ideal partisipasi anggaran adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu dalam penyusunan anggaran, serta proses di mana pelaksana anggaran diberikan kesempatan untuk terlibat dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran.

Belajar dari Sumedang
Salah satu daerah di Indonesia yang patut menjadi model pembelajaran dalam partisipasi anggaran adalah Kabupaten Sumedang – Jawa Barat. Pemkab setempat menghasilkan Perda No.1/2007, tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah Kabupaten Sumedang. Pada Perda itu dicantumkan penghitungan sumber daya di awal perencanaan (pagu indikatif awal tahun perencanaan); jaminan terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah yang dilembagakan dalam bentuk Forum Delegasi Musrenbang (FDM); adanya jaminan prioritas kegiatan hasil Musrenbang diakomodasikan dalam penganggaran. Dalam Perda itu juga dirumuskan Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) yakni sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program. Dengan FDM, masyarakat mempunyai wakil untuk mengawasi dan memantau perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran publik. Apakah kita mau belajar juga dari Sumedang?


Beberapa Keuntungan
Keuntungan adanya keterlibatan publik dalam perencanaan hingga evaluasi APBD adalah meningkatkan kualitas perencanaan dan alokasi sumber daya demi efisiensi penggunaan sumber daya yang terbatas. Namun semua ini hanya terjadi apabila ada kemauan politik dari pemerintah dan wakil rakyat. Perjuangan untuk terlibat dalam proses anggaran bukanlah upaya yang mudah apalagi kultur birokrasi dan politis kita masih cukup rigid pada hal-hal ini. Namun, tidak mesti ada kata menyerah. Karena APBD adalah hak rakyat, maka sudah saatnya rakyat harus terlibat dalam seluruh proses anggaran. Lembaga pemberdayaan masyarakat sudah saatnya melakukan advokasi dan studi yang terfokus pada politik anggaran. Perjuangan untuk membantu kaum tertindas harus dimulai dari cara yang paling sederhana namun efektif. Keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas anggaran adalah salah satu cara strategis yang harus diperjuangkan. Kesulitan pasti ditemui di lapangan karena kultur politik dan struktur birokrasi yang masih cenderung tertutup.Tetapi dengan adanya partisipasi publik dalam proses kebijakan anggaran  yang dibangun oleh  organisasi non-pemerintah maupun lapisan masyarakat lainnya, karena apa artinya pemberdayaan jika masyarakat tidak sanggup memberdayakan diri sendiri untuk mengontrol apa yang menjadi haknya yakni APBD.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan