Kamis, 23 Desember 2010

GERAKAN MAHASISWA ANTARA PERAN DAN IDENTITAS


Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.

Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.

Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.

Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.

Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa.

Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".

Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.

Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.

Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..

Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Dalam berbagai kesempatan selalu muncul kegelisahan yang mempersoalkan budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia. Memang harus diakui jika kedua hal itu belum menjadi perilaku, bahkan di kalangan masyarakat akademis sekalipun. Tidak hanya di lingkup siswa-siswa sekolah, guru pun jarang meningkatkan kapasitas dengan membaca dan menuangkan pemikiran lewat tulisan.

Rubrik Nguda Rasa Koran Merapi ini pun juga sering kali menyuguhkan opini terkait rendahnya budaya membaca dan menulis, baik di kalangan masyarakat umum maupun masyarakat akademis. Pada titik ini, penulis lebih menyoroti perilaku membaca dan menulis di kalangan mahasiswa.
Persoalan rendahnya budaya membaca dan menulis tidak melulu terjadi pada siswa sekolah, guru, dan juga dosen di perguruan tinggi. Mahasiswa yang disebut aktor inteletual pun memiliki permasalahan serupa. Mungkin di antara kita ada yang melontarkan tanya, apa yang ada di benak mahasiswa saat ini?

Terlalu pragmatis mungkin. Bukan untuk menggeneralisir, namun sekadar menegaskan adanya sebagian mahasiswa yang enggan berbudaya intelektual. Mahasiswa menulis biasanya dalam kondisi dikejar-kejar tugas kuliah. Menyusun makalah karena ada kewajiban kuliah yang harus ditunaikan.

Bahkan, tugas paper yang dibuat pun tinggal copy-paste tanpa analisis kritis dan penuangan pemikiran orisinal mahasiswa. Bisa dikatakan mahasiswa zaman sekarang seakan-akan malas menulis. Membaca pun malas. Lagi-lagi karena ada mid semester dan ujian akhir, mahasiswa bersedia membaca. Bahkan, mahasiswa menyempatkan diri ke perpustakaan jika ada tugas-tugas kuliah. Lebih dari itu, budaya contek-mencontek telah mengakar kuat setiap kali ujian tiba.

Ini berarti kebiasaan mempelajari ilmu dan membaca tampak minim di kalangan mahasiswa. Membaca dan menulis sedikit banyak telah hilang dari peredaran aktivitas mahasiswa. Diminta diskusi pun mahasiswa tak ada keinginan. Kelompok-kelompok diskusi di kampus boleh dibilang minim, bahkan hampir tidak ada. Kalau bicara ideal, satu fakultas seharusnya ada satu komunitas diskusi. Tidak hanya satu komunitas diskusi, tetapi setiap jurusan di fakultas setidaknya perlu memiliki komunitas diskusi.

Harus jujur diakui, mahasiswa telah terjebak pada budaya-budaya nir-intelektual. Apa yang dibicarakan di kampus tak jauh dari ngrumpi tiada arah. Coba tanyakan kepada setiap mahasiswa perihal berita-berita aktual hari ini. Apa perkembangan politik di dalam negeri? Ada permasalahan dan wacana hangat apa hari ini? Pasti tidak banyak mahasiswa yang merespons dengan baik.

Mereka seolah-olah gagap jika berbicara masalah sosial, politik atau pun permasalahan bangsa lainnya. Minimnya budaya membaca mahasiswa termasuk jarangnya mengakses berita-berita di surat kabar. Memang di organisasi kemahasiswaan banyak yang berlangganan surat kabar harian, namun amat sedikit yang membaca. Surat kabar seringkali tergeletak tanpa dihiraukan sedikit pun.

Disadari atau tidak, ada yang hilang dari budaya mahasiswa. Mahasiswa sebagai aktor intelektual telah kehilangan identitasnya. Tentu kita paham betul terkait peran iron stock (cadangan keras) yang disandang mahasiswa. Peran iron stock menegaskan bahwa mahasiswa adalah calon-calon pemimpin bangsa yang kelak mengendalikan kepemimpinan di negeri ini. Nah, bagaimana mungkin calon-calon pemimpin bangsa jarang, bahkan tidak pernah “membaca” Indonesia saat ini? Hal ini tentu saja penting karena pengalaman dan kejadian bangsa saat ini merupakan pelajaran untuk hari esok.
Mahasiswa harus terlibat secara intelektual dan emosional terhadap seluk beluk permasalahan bangsa saat ini. Kehadiran psikologis amat diperlukan agar mahasiswa tidak jauh dari realitas bangsa. Mahasiswa harus merasakan permasalahan bangsa sekaligus memberikan kontribusi secara intelektual. Nah, keterlibatan secara intelektual dan emosional tidak mungkin tercapai jika tidak ada budaya membaca, menulis, dan juga diskusi. Ada satu sisi lain yang juga layak dikemukakan.

Dalam hal ini, penulis mencoba menyinggung gerakan mahasiswa. Tersimpan harapan kepada gerakan mahasiswa untuk tidak hanya mengandalkan solusi “jalanan” alias turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Artinya, harus ada perubahan pola gerakan dari “jalanan” ke pemikiran. Turun ke jalan memang diperlukan, tetapi jangan terjebak pada aksi-aksi demonstrasi an sich. Biasanya aksi-aksi demonstrasi lebih bersifat reaktif daripada menyodorkan solusi strategis. Ya, inilah harapan yang ditujukan kepada gerakan mahasiswa. Lalu, apa itu gerakan pemikiran?

Selain membaca, gerakan pemikiran adalah dengan menulis. Jujur diakui bahwa budaya menulis juga masih sangat rendah di kalangan aktivis gerakan mahasiswa. Hanya segelintir aktivis mahasiswa yang menulis, baik dipublikasikan lewat media massa maupun dalam bentuk buku. Bahkan, mahasiswa-mahasiswa yang menulis di media massa malah jarang berasal dari gerakan mahasiswa.

Diskusi di lingkup gerakan mahasiswa pun ibarat angin lalu. Banyak gerakan mahasiswa menggelar diskusi publik dan sedikit sekali peminatnya. Lebih tragis lagi, diskusi tersebut malah tidak diikuti oleh kalangan internal gerakan mahasiswa itu sendiri. Tampaknya aktivis gerakan mahasiswa sedikit banyak suka turun ke jalan daripada menikmati pergumulan pemikiran. Selain itu, amat jarang gerakan mahasiswa yang memiliki media jurnalistik. Jika memiliki media jurnalistik, terbitnya pun berkala. Suatu kala terbit dan suatu kala tidak terbit. Jarang ada aktivis gerakan mahasiswa yang bersedia menggarap media jurnalistik.

Hampir di setiap gerakan mahasiswa, media jurnalistik kurang terurus dengan baik Dengan demikian, gerakan mahasiswa perlu melakukan perubahan pola gerakan dari “jalanan” ke pemikiran meskipun tidak meninggalkan aksi demonstrasi sama sekali. Gerakan mahasiswa tidak melulu menampilkan aksi-aksi demonstrasi, tetapi juga menumbuh suburkan budaya menulis untuk menyampaikan aspirasi dan pemikiran.

Gambaran di atas merupakan sekelumit wajah mahasiswa zaman sekarang. Sekali lagi, hal tersebut diungkapkan bukan untuk menggeneralisir, tetapi membuka mata kita terhadap realitas kehidupan mahasiswa. Perubahan biasanya berawal dari kegelisahan. Adakah yang gelisah? Minimal mahasiswa harus gelisah, bukan orang lain yang dituntut gelisah. Dari kegelisahan, mahasiswa bertanggung jawab untuk membangkitkan kembali “budaya-budaya intelektual yang hilang dari rimbanya”. Wallahu a’lam, bish-shawab.(*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan