Rabu, 22 Desember 2010

Sebuah Refleksi Kehidupan


Saat ini, dalam situasi yang serba hiruk-pikuk, kita seolah-olah berada di tengah gerombolan kafilah besar yang sedang menuju entah ke arah mana. Sedangkan orang-orang terkemuka dari kita saling bersitegang dan bersaing dengan sengit ingin tampil sebagai pemimpin di depan yang menunjuki arah perjalanan panjang kita sebagai kafilah yang letih. Ironisnya para terkemuka yang berebut memimpin itu, dia sendiri tidak mengerti hendak kemana seharusnya kafilah besar ini diarahkan. Ia hanya berpuas diri dengan menduduki unta terdepan sebagai pusat kendali perjalanan. Lain dari itu, tidak ada sama sekali. Lantas, bagaimanakah nasib kita dan orang-orang banyak yang berada dalam kafilah itu, jika komando dan kompas perjalanan berada di genggaman tangan pemimpin-pemimpin yang hanya mengejar kedudukan semata dan melupakan nasib kafilah yang sedang terlempar dalam ketidakpastian arah perjalanan?
Dewasa ini, karena begitu gelapnya keadaan, kita sudah sulit berhasil untuk melihat secara jernih keadaan sekeliling kita dengan mata yang jernih, apalagi jika untuk menilai dengan benar keadaan dan memberikan pemecahan-pemecahan yang konkret. Sejumlah teori sosial, ekonomi, politik dan budaya yang dikoleksi oleh lembaga-lembaga ilmiah kita, saat dipergunakan sebagai pisau operasi, tampak tidak mampu mengangkat “tumor sosial” yang sudah kronis menggerogoti “tubuh sosial” kita.
“Tumor sosial” yang menggerogoti “tubuh sosial” kita telah membuat kita tidak berdaya. Tumor itu adalah pertentangan-pertentangan yang saling mematikan di antara kita hanya karena hasrat materialistik yang begitu parah bercokol dalam pemikiran dan perilaku kita. Sialnya, pertentangan karena hasrat materialistik ini telah pula kita lembagakan dalam institusi-institusi yang kita dirikan di atas justifikasi yang seolah-olah intelektual dan bermoral yakni Kebebasan dan Demokrasi, kedua mantra ini telah mencekam pemikiran separuh sadar kita dan telah mendorong kita bertindak untuk menjadi patriot dan pahlawan yang siap mati membela kedua mantra yang membius ini. Saya tentu tidak dalam posisi anti demokrasi dan kebebasan secara subtansial, tetapi anti terhadap ketololan kita mempertuhankan kedua mantra ini.
Permasalahan berlatar urusan perut, kelamin, dan hasrat duniawi lainnnya telah mendera hari-hari kita seolah-olah di sanalah puncak eksistensi kita sebagai manusia di atas dunia ini. Permusuhan-permusuhan dan konflik yang disebabkan oleh hasrat duniawi tersebut nyaris telah menenggelamkan kita dalam situasi tanpa celah keluar dan lama-lama membuat kita terbiasa dengan hal itu sehingga kita nyaman-nyaman saja dengan situasi yang ganjil tersebut. Lihat hari ini, perang dan konflik,pertentangan antar elit, mulai dari tingkat negara hingga tingkat perorangan meletus karena motif tersebut. Celakanya, sejumlah gagasan intelektual pun berusaha dibangun di atas altar bau amis hasrat materialistik hingga keadaan semacam itu tampak sah di mata kita dan perlu dilestarikan.
Jika kita berani sejenak merenung dan menanggalkan kecongkakan intelektual kita, nyatalah bahwa pusat masalahnya adalah kita sedang bertawaf-mengitari untuk semakin dekat dengan berhala materialisme. Seluruh kriteria dan konsep hidup yang kita anut berlandas kepada materi. “Anda tidak ada harganya jika tidak memiliki materi dan Anda tidak akan mampu berbuat apa-apa jika tidak memiliki materi!” Demikianlah kredo hari ini, sehingga seluruh urusan disandarkan kepada materi. Bahkan kehangatan persaudaraan pun berdiri di atas materi. Dalam situasi tatanan yang dibangun di atas penuhanan terhadap materi ini, maka resultannya adalah siapa yang menguasai materi maka dia pulalah yang menjadi Tuhannya. Siapa yang tidak menguasai materi dan tetapi menggantungkan diri terhadap materi, maka dialah yang menjadi hambanya. Bagi yang tidak menyadari hal ini, jelas akan tersesat, seolah-olah merasakan kompleksnya masalah hidup yang ia hadapi. Dan sebenarnya, beginilah situasi yang diinginkan oleh para penguasa materi. Dengan situasi yang serba sesat dan konflik yang mencekam antar manusia yang bersumber pada perebutan materi, para penguasa materi semakin leluasa menancapkan kuku kekuasaannya terhadap manusia.
Bila kita tarik ke dalam masalah domestik di lingkungan nasional kita, tampaklah apa yang kita sinyalir di atas mendapatkan kebenarannya. Hari ini kesadaran aktual yang dominan memengaruhi cara-cara berpikir, bertindak dan mengatur tatanan hidup kita adalah materialisme. Maka tidak perlu heran, jika ketentraman dan keadilan tidak akan pernah merata kita peroleh dalam hidup kita yang singkat ini. Yang kuat akan selamanya tidak puas hingga ia dapat mendominasi dan memonopoli sumber-sumber materi, sedangkan yang lemah berusaha mati-matian merebut dengan segala cara.
Tampaklah di depan mata kita materialisme ini semakin matang dan mengakar mengatur tatanan hidup kita, tidak saja lokal tetapi juga global. Inilah akar malapetaka yang memangsa kehidupan manusia di muka bumi ini. Rasanya, baru kali ini ada ancaman nyata dalam sejarah umat manusia dimana dampaknya bersifat global akibat kerakusan yang parah yang diciptakan sendiri oleh manusia-manusia rakus itu di atas landasan berpikir materislisme.
Tentu saja kita tidak cukup membentangkan masalah-masalah dasar. Sebagai manusia, kita wajib menyodorkan pemecahan dan mengajak banyak orang untuk tidak berpangku tangan menonton malapetaka yang kita alami dan bangkit bekerja sama memecahkan persoalan. Hendaknya kita sadari bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang berjiwa syaiton yang gembira melihat manusia-manusia lain tenggelam dalam malapetaka yang mereka ciptakan. Hendaknya fakta ini tidak diabaikan. Mereka inilah pemantik perpecahan dan penghasut manusia agar terjerumus ke dalam neraka jahannam materialisme. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa Allah telah memberi jaminan, untuk itulah mari kita renungkan ayat brikut ini :
Wa makaruu wa makarallah, wallahu kharul maakirin. “Dan mereka membuat tipu daya, tetapi Allah pun membuat tipu daya. Dan Allah adalah sebaik-baik tipu daya” . Wallahu `alam bisshawab




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan