Rabu, 22 Desember 2010

Problematika Demokrasi




Demokrasi mempunyai dua wajah yang berbeda; wajah ideal-ideologis dan wajah real-pragmatis. Sebagai produk sekularisme, demokrasi lahir hasil pergelutan di antara rasionalitas dan kuasa gereja. Akibat pergelutan yang dahsyat dan panjang ini minda bawah sedar masyarakat Barat telah terpatri dengan kesimpulan bahawa pemerintahan agama hanya akan berdampak kemunduran. Bentuk pemerintahan sekular, liberal dan pluralis adalah satu-satunya solusi agar tidak berlaku lagi pemerintahan despotik dan autoritarian. Dan pada kenyataannya sistem politik ini yang telah dibangun oleh pemikir-pemikir politik Barat telah berhasil membangun ekonomi dan sosio-politik masyarakat Barat.

Wajah manis demokrasi terlihat ketika menyuarakan “government of the people, by the people, for the people”. Demokrasi yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Terjaminnya kebebasan, persamaan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Dan yang paling penting sekali wujudnya pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung-jawab kepada rakyat. Demokrasi menjadi semakin penting dan relevan untuk menghindari pemerintahan despotik, kuku besi, dan otoritarian. Wajah manis inilah yang berhasil menarik minat sebahagian intelektual Muslim untuk mengadopsi sepenuhnya demokrasi Barat.

Akan tetapi tidak sedikit para intelektual yang menyedari bahwa demokrasi sebenar hanya tinggal slogan dan retorika. Terlalu ramai yang tidak menyedari wajah hodoh demokrasi ‘the ugly face of democracy’. Ini karena keburukan demokrasi akan hanya terlihat dengan minda yang bersih dari sekularisasi. Kritik pedas terhadap demokrasi ini banyak juga dilaungkan oleh cendikiawan Barat sendiri. Dalam bukunya Reaganism and the Death of Representative Democracy, Walter William seorang professor emeritus dari Universiti Washington, mengatakan bahwa pemerintahan Amerika semenjak zaman Reagan hingga saat ini adalah “Government of the Wealthy, for the wealthy”(pemerintahan si kaya untuk kepentingan si kaya) Perubahan nilai dalam demokrasi ini disebabkan adanya sistem lobbi yang memberi peluang bagi kapitalis-kapitalis, yang mayoritasnya Yahudi, untuk menentukan segala kebijaksanaan pemerintah.

Kritikan lebih pedas lagi diutarakan oleh Chomsky, beliau mengatakan bahwa Amerika tidak kurang terorisnya berbanding mana-mana negara yang diklaim sebagai teroris. Karena Amerika berambisi untuk mewujudkan empayar dunia dan semua konspirasi dilakukan untuk merealisasikan “imperial grand strategy”(strategi penjajahan yang besar). Antara konspirasi yang sudah tidak asing lagi adalah konspirasi 11 september yang menjadi lesen perang terhadap keganasan umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Mathias Brockers, penulis Jerman yang berhasil mendedahkan konspirasi Amerika agar dunia percaya ia dilakukan oleh teroris.

Demokrasi mempunyai banyak kelemahan. Sesiapapun yang mengkaji demokrasi secara substantif dan kritis akan dapat melihat kelemahan dan kerancuan dalam sistem ini. Dalam sistem liberal demokrasi, berbanding dengan sistem Islam, terdapat kekaburan otoritas, pada teorinya rakyat berdaulat kedaulatan rakyat. Namun rakyat hanya berdaulat beberapa tahun sekali. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam system demokrasi terlalu banyak slogan yang jauh dari kenyataan, pada kenyataannya kepentingan golongan elit lebih diutamakan berbanding kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat tetapi mewakili diri sendiri dan golongan tertentu (pendanan partai). Politik uang dan penipuan (immoralitas) diterima sebagai sebagian dari sistem politik yang sekular.

Terdapat kecendrungan sebagian cendekiawan muslim untuk menerima bahkan mengagungkan dan mensakralkan demokrasi walhal tiada produk manusia yang sempurna bisa ditengarai sebagai kesan inferiority complex. Sebagian yang lain setelah menolak eksistensi politik Islam terpaksa menyerah sepenuhnya kepada produk Barat yang sekular. sebagian intellektual muslim yang mengusulkan garis persamaan antara Islam dengan demokrasi sebenarnya tanpa disadari telah mengambil jalan pintas dan tidak ingin pusing membangun sistem politik Islam. Di indonesia mayoritas intelektual menerima sistem demokrasi liberal tanpa syarat dan kritikan. Nurcholish Madjid, Amin Rais, Syafi‘i Ma’arif, Munawir Syadzali dan Abdurrahman Wahid di antara yang menyuarakan ide demokratisasi Indonesia sepenuhnya mengikuti pemikiran politik sekuler. Bagi Nurcholish, demokrasi Barat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Memang demokrasi mempunyai idealisme-idealisme yang sangat baik walaupun tidak sempurna. Akan tetapi pada realitinya demokrasi biasa digunakan untuk mengaburi mata rakyat agar percaya pada pemerintah. Teori yang baik akan tinggal slogan dan retorika kalau orang yang terlibat tidak jujur dan amanah. Perkara yang sama juga bias berlaku pada politik Islam, Islam memiliki dasar-dasar politik yang sangat baik walaupun masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkannya. Teori politik Islam akan kekal menjadi teori dan retorika seandainya keilmuan dan kesadaran umat Islam masih rendah.

Setelah segala apa yang dilakukan oleh negara demokrasi (Amerika) contoh terhadap setiap negara dan masyarakat yang tidak sehaluan dengannya maka apa masih boleh dikatakan negara demokrasi menjamin keadilan dan hak-hak asasi manusia? Rakyat sudah tidak lagi menjadi penentu dan pemimpin bukan lagi mewakili rakyat. Pemerintah yang menggunakan demokrasi sebagai alat untuk berkuasa hanya mewakili dan mendengar dari satu golongan saja, yaitu para kapitalis dan orang-orang yang berkepentingan dari dalam maupun luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan