Rabu, 22 Desember 2010

KEBIJAKAN PUBLIK ; ANTARA KUASA PEJABAT DAN PARTISIPASI RAKYAT


Kekuasaan itu jelas amanah dari Tuhan. Tapi dalam pemerintahan dengan sistem monarki absolut, kekuasaan sepenuhnya milik raja yang diberikan Tuhan kepadanya (devine right of kings). Oleh karena itu ia bisa menggunakan kekuasaan itu sesuka hatinya. Ia tidak dapat dibantah karena titahnya adalah ‘firman’ Tuhan . Terkenal misalnya ucapan Raja Louis XVI dari Perancis yang mengatakan l’etat cest moi (negara itu adalah saya). Apa pun yang dilakukannya ia tidak dapat disalahkan karena the king can do no wrong (raja tidak bisa berbuat salah). Dalam faham demokrasi, kekuasaan itu milik rakyat. Dalam menjalankan kekuasaan itu mereka mendelegasikannya kepada sekelompok orang yang mereka pilih.

Sedangkan, bagi Islam, kekuasaan itu adalah milik Allah (QS 3:26 ) dan guna mengatur bumi ini Ia mengamanahkan kekuasaan itu kepada manusia. Pada mulanya Ia menawarkan amanah itu kepada langit, bumi dan gunung- gunung akan tetapi mereka enggan memikulnya. Ketika ditawarkan kepada manusia mereka menerimanya dan atas penerimaan itu Tuhan menilai mereka sebagai bodoh (QS 33:72 ) karena dengan demikian mereka harus memikul tanggungjawab. Makhluk lain tidak memiliki tangggunhgjawab itu. Guna menjalankan amanah itu Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya (QS 2:30). Sebelumnya Tuhan menciptakan segala yang ada di bumi untuk manusia (QS 2:29) sebagai sarana dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Namun demikian, kekuasaan mutlak tetap berada di tangan Tuhan dan oleh karena itu kekuasaan manusia bersifat nisbi (relatif). Artinya, manusia, secara keseluruhan, bertanggungjawab kepada Tuhan atas pelaksanaan amanah-Nya itu..

Manusia; Pengemban Amanah Tuhan

Tanggungjawab kepada Tuhan itu disebut tanggungjawab keagamaan (syar’iyah). Dalam konteks inilah sebuah hadis Nabi yang begitu popular harus difahami. Bagian awal hadis itu berbunyi “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya…” Berdasarkan hadits itu, tak seorang pun yang bebas dari tanggungjawab bahkan termasuk pembantu rumah tangga yang harus bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan majikannya dalam menjaga harta milik majikannya itu. Namun dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan kemasyarakatan dan kenegaraan, tidaklah mungkin semua orang secara bersama-sama menangani urusan itu. Maka mereka mempercayakan pelaksanaan urusan itu kepada orang lain. Semua pengemban urusan itu, mulai dari yang paling rendah (misalnya Ketua RT) sampai yang paling tinggi ( presiden), bertanggungjawab kepada rakyat sebagai pengemban amanah Tuhan. Termasuk juga mereka yang berkiprah di bidang legislatif dan yudikatif. Jadi, seorang pejabat beragama Islam, memikul tanggungjawab ganda: tanggungjawab kepada rakyat –sebut saja tanggungjawab publik—dan tanggungjawab kepada Tuhan (tanggungjawab keagamaan).

Dalam menjalankan tanggungjawab publiknya, seorang pejabat harus mematuhi berbagai peraturan-perundangan yang kita sebut hukum positif. Mereka yang melanggar dikenai sanksi misalnya penurunan pangkat, pemecatan atau penjeblosan ke dalam penjara. Sementara dalam menjalankan tanggungjawab keagamaan, seseorang wajib berpegang teguh pada hukum agama. Pelanggaran atas hukum agama itu digolongkan ke dalam perbuatan zalim dan akan mendapat sanksi dari Tuhan.

Semua kita tahu bahwa sistem reward (ganjaran) and punishment (hukuman) digunakan Tuhan dalam menilai perbuatan hamba-Nya termasuk mereka yang disebut pemimpin. Dalam sebuah hadis, Nabi menegaskan bahwa pemimpin yang adil, yaitu mereka yang dalam menjalankan kekuasaannya berpegang teguh pada hukum-hukum agama, termasuk salah satu dari tujuh kelompok hamba Tuhan yang di akhirat kelak akan diberi perlindungan. Akan tetapi dalam kehidupan duniawi yang kini cenderung materialistik, terdapat orang- orang yang mengalami erosi iman dengan mengambil jurus aji mumpung. Mumpung lagi berkuasa, rauplah kekayaan sebanyak mungkin, meski melalui cara yang tidak halal. Soal dosa, itu urusan belakangan. Na’uzubillah!

Ironi Partisipasi Rakyat

Kata rakyat seolah menjadi mantera sakral yang selalu dilafalkan sebagai pusaka ampuh untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan. Kendatipun tidak pernah jelas benar tentang siapakah sesungguhnya rakyat itu, menyebut kata rakyat bisa bermakna sakti karena merekalah pemilik sah kehidupan ini. Di sisi lain, kata rakyat juga bisa bermakna ganda, sebagai objek penderita sekaligus sebagai sumber legitimasi bagi pelaku kuasa.
Dalam makna yang pertama, rakyat biasanya identik dengan mereka yang tertindas, terpinggirkan dan selalu menjadi korban dari kebijakan pemerintah. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan makna rakyat dalam kaitannya dengan pelaku kuasa. Dalam posisinya yang seringkali terlupakan itu, rakyat  muncul sebagai sumber suara yang menentukan langkah pelaku kuasa. Kita kemudian mengenal jargon-jargon populer: suara rakyat adalah suara tuhan, pemerintah oleh, dari dan untuk rakyat, rakyat kuasa dan sejenisnya.

Kita pasti sepakat bahwa setiap kebijakan harus sesuai dengan aspirasi rakyat. Menjadi aneh bila sekelompok orang yang tidak setuju dengan sebuah usulan kebijakan tiba-tiba mengatakan bahwa usulan kebijakan itu tidak sesuai aspirasi rakyat. Lebih aneh lagi jika ada segelintir pemimpin yang merasa paling mewakili suara rakyat.

Bagaimanakah metode atau cara yang tepat untuk memahami kehendak rakyat bukanlah perkara sederhana. Dalam teori pilihan rasional (rational choice theory) dikenal adanya preferensi-preferensi atau keinginan  paling dominan yang muncul dari warga masyarakat. Ketika ditanya tentang apa yang paling diinginkan, sekelompok warga mungkin akan mengatakan mereka ingin di daerahnya dibangun pasar, sementara yang lain menginginkan adanya sekolah atau puskesmas atau bahkan pabrik elektronik yang bisa menyerap tenaga kerja. Pilihan-pilihan tersebut tentulah didasarkan pada alasan rasional masing-masing. Karena itu dibutuhkan mekanisme dan keahlian untuk menentukan, pilihan kebijakan apakah yang paling tepat dilakukan sesuai dengan preferensi warga masyarakat.

Sebuah usulan kebijakan yang disusun berdasarkan masukan dari proses penjaringan aspirasi masyarakat, dengan demikian tidak bisa begitu saja dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat, semata-mata karena tidak sesuai dengan keinginan sekelompok elite dengan kepentingan tertentu. Tentu saja usulan kebijakan tersebut juga tidak bisa dianggap mutlak mewakili seratus persen keinginan rakyat. Itu semua terjadi karena proses dan metode dalam memahami dan menyerap aspirasi rakyat sangat berpengaruh terhadap hasil berupa usulan  kebijakan tersebut. Secara umum dikenal tiga metode untuk memahami aspirasi rakyat, berdasar luas lingkup ruang partisipasi, jenis komunikasi dan relevansi antara aspirasi dengan kebijakan (Archon Fung, 2006).

Pertama, luas lingkup partisipasi akan menentukan siapa saja yang berhak menyalurkan aspirasinya untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Terdapat lima model dasar yang membedakan luasnya ruang partisipasi bagi penyaluran aspirasi rakyat. Kesatu, adalah self selected, yaitu mekanisme yang sepenuhnya membebaskan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya atau tidak. Kedua, melalui rekrutmen terseleksi, yaitu hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan saja yang memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, random selection yang juga sering dikenal dengan teknik polling, yaitu penyerapan aspirasi masyarakat dengan memilih secara acak.
Keempat  adalah lay stakeholders, yaitu proses penyerapan aspirasi yang melibatkan beberapa warga negara yang rela bekerja tanpa dibayar. Sekelompok warga diberi kepercayaan untuk memikirkan atau menangani suatu kebijakan tertentu. Sedangkan yang kelima adalah professional stakeholders,  yaitu pembuatan kebijakan publik yang melibatkan tenaga-tenaga profesional yang digaji atau diberi honorarium.  Asumsinya, tenaga-tenaga profesional ini memiliki kapasitas menemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Metode kedua adalah dengan melihat jenis komunikasi yang terjadi antara pemerintah dengan warganya, apakah satu arah atau timbal balik. Model komunikasi timbal balik memberikan ruang yang lebih luas bagi proses penyerapan aspirasi yang lebih berkualitas. Sementara metode ketiga adalah dengan melihat relevansi antara perkembangan aspirasi dengan substansi kebijakan. Semakin relevan produk kebijakan  yang dihasilkan dengan persoalan riil yang berkembang di masyarakat, maka proses penyerapan aspirasi yang terjadi di masyarakat bisa dikatakan semakin berkualitas.

Terlepas dari ketiga metode di atas, kita diingatkan bahwa peningkatan kualitas partisipasi rakyat menjadi agenda penting yang harus disiapkan dalam proses penyusunan kebijakan. Perlu dipikirkan adanya mekanisme paling efisien yang mampu menjamin sebanyak mungkin warga masyarakat bisa memberikan pendapatnya dalam proses perumusan kebijakan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi jika proses politik yang dijalankan oleh wakil-wakil politik pada suatu saat mengalami defisiensi atau penurunan kualitas. Sebagaimana kita ketahui, wakil-wakil politik formal tidak sedikit yang memiliki kekurangan pada sisi kapasitas, kepentingan, pengetahuan, pengalaman dan lain-lainnya. Demikian juga, pemimpin-pemimpin formal baik yang dipilih maupun diangkat seringkali sudah mengalami proses penurunan sensitivitas terhadap kebutuhan rakyatnya. Jadi, marilah kita bersama-sama memahami aspirasi rakyat secara baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan