Kamis, 16 Desember 2010

KORUPSI; PENYAKIT SISTEMIK YANG MENGGURITA

Oleh : Nurul Huda

Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia ibarat virus kanker yang sedikit demi sedikit mulai menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya, daya tular yang dimilikinya telah membuat korupsi menjalar dan tumbuh subur hampir di semua tempat. Secara horizontal, bila dahulu korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat (centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized corruption).
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan sikap apatis masyarakat terhadap berbagai upaya pemerintah dalam memerangi korupsi, karena ternyata belum ditemukan obat yang mujarab untuk memberantasnya.
Ironi memang, pada satu sisi pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin memberantas korupsi, namun di sisi lain korupsi tetap merajalela. Pemberantasan korupsi seakan berada pada dua sisi yang saling bertentangan tapi satu sama lain tak dipisahkan. Pada satu sisi semakin banyak orang yang membenci korupsi, tapi di sisi lain tidak sedikit pula yang “diam-diam” merindukannya. Mengapa korupsi sulit diberantas?
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, setidaknya ada dua alasan mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak mengalami kemajuan, yaitu belum memuaskannya kinerja aparat penegak hukum dan lembaga peradilan masih menjadi lembaga yang membebaskan para koruptor. Dilihat dari sisi penegakan hukum, memang sulit dibantah bahwa kekecewaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi sudah mendekati titik jenuh.
Masyarakat tidak lagi antusias dan cenderung apatis menyikapi berbagai upaya dan terobosan yang ditempuh pemerintah, sebaliknya tidak merasa terganggu dengan praktek-praktek menyimpang yang terjadi sehari-hari. Masyarakat dapat memaklumi  sikap petugas kelurahan yang meminta uang administrasi diatas standar yang ditetapkan ketika mengurus KTP atau surat keterangan misikin, membayar sejumlah uang kepada petugas yang meminta melebihi dari standar saat mengurus SIM, memberi uang di tempat kejadian kepada polisi ketika kedapatan melanggar rambu-rambu lalu lintas, dan lain sebagainya. Secara hukum tindakan-tindakan tersebut jelas melanggar, tapi sikap permisif masyarakat seakan melegalkan praktek-praktek seperti itu.
Bisa jadi, sikap apatis masyarakat terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa korupsi sulit diberantas, karena praktek-praktek menyimpang yang seharusnya diperangi justeru dibiarkan tumbuh dan berkembang. Robert Klitgaard dan kawan-kawan menggambarkan bahwa anggapan terhadap suatu penyimpangan sebagai hal biasa merupakan salah satu dari tujuh alasan yang tidak benar untuk tidak membasmi korupsi.
Jadi, upaya pemberantasan korupsi menuntut tidak hanya langkah-langkah yang bersifat pendekatan hukum saja, tetapi juga pendekatan moral. Upaya anti korupsi banyak yang gagal karena hanya didasarkan pada pendekatan hukum, atau terlalu tertumpu pada himbauan moral. Padahal, strategi kunci bagi upaya anti-korupsi adalah bagaimana mengerahkan dan mempertahankan partisipasi masyarakat luas dalam upaya membasmi korupsi.
Menilik Peta Sejarah; dari Pra Kemerdekaan Sampai Era Orde Baru

Sejarah korupsi di Indonesia berakar sejak jaman kolonial Belanda terutama dengan pembubaran perusahaan dagang kolonial Veerediging Oost-Indie Compagnie (VOC) yangmenandai intervensi langsung pemerintah pada urusan bisnis di Negara jajahan. Korupsi dilakukan oleh pegawai Negara di hindia belanda terdorong oleh beberapa factor. Factor-faktor tersebut antara lain gaji yang rendah, lemahnya kontrol sosial, terbukanya peluang dalam perdagangan antar pulau dan hamper tiadanya pengawasan efektif oleh pemerintah kerajaan Belanda dan administrasi kolonial di Jawa. Pembubaran sistem perusahaan perdagangan dan digantikan dengan sistem gubernur jendral sebagai pelaksana administrasi kolonial di Hindia Belanda telah memperburuk situasi karena para pegawai baik yang berasal dari Eropa maupun kaum pribumi cenderung melakukan penyalahgunaan wewenangnya.

Dengan warisan kondisi semacam ini, korupsi di Indonesia berkembang terus sampai setelah masa kemerdekaan republik Indonesia pada tahun 1945. hal ini membuka peluang labih besar lagi bagi para pribumi menduduki jabatan pemerintahan dalam birokrasi sipil maupun militer. Kondisi inilah yang mel;ahirkan satu lapisan baru kaum pribumi sebagai birokrat yang memiliki wewenang lebih besar daripada sebelum kjemerdekaan. Praktik penyuapan terjhadi terutama pada saat promosi jabatan yang lebih tinggi di birokrasi. Selain itu kecenderungan para pegawai negeri harus membayar biaya-biaya hidup yang melampaui gaji yang diterima. Korupsi semakin meluas manakala kegiatan bisnis dan wewenang publik hampir tak ada batasnya pada saat nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta di bidang pertambangan, perkebunana, transportasi dan pemasok barang-barang makanan.
Penyelewengan tak terhindarkan terjadi pada Perusahaan Negara, karena masih lemahnya sistem pengawasan dan tidak efektifnya penegakan hukum akibat munculnya fenomena mafia peradilan di Indonesia. Namun hal yang paling jelas mendorong terjadinya korupsi dalam tubuh birokrasi adal;ah semakin besarnya intervensi Negara pada sektor-sektor kegiatan swasta. Interaksi yang jelas juga terjadi pada proses perijinan dan pemberian konsesi terutama pada pengelolaan pertambangan dan kehutanan terutama pada masa orde baru. Praktik penyuapan seriung terjadi karena upaya pihak swasta untuk mendapatkan kemudahan dan ijin untuk mengeksploitasi hasil-hasil pertambangan dan kelautan. Seiring dengan tumbuhnya perekonomian di Indonesia pada akhir dasawarsa 1960-an dan selama dasawarsa 1970-an telah memperluas kegiatan perusahaan Negara dan peran birokrasi yang semakin besar dalam kegiatan perijinan. Lemahnya system control internal dan eksternal pada masa itu telah menumbuhkan budaya korupsi yang semakin besar.para pejabat Negara dengan mudah menyalahgunakan wewenangnya untuk memberikan kemudahan perijinan pada pihak swasta dalam berbagai kegiatan dengan imbalan sejumlah uang. Kolusi semacam ini lazim terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak diikuti oleh repormasi birokrasi dan pernegakan hokum yang jelas dan tegas. Upaya yang bersifat kosmetik untuk pemberanbtasan korupsi pada masa Orde Baru dengan membentuk lembaga-lembaga khusus dibawah Presiden, bukannya mengurangi praktek penyelewengan di dalam birokrsai, tetapi justru telah mendorong praktek korupsi yang lebih canggih dan tak mudah terdeteksi.
Perlunya Ketegasan Pemerintah

Pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan secara teknis tanggung jawab itu terletak pada pundak lembaga-lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK, dengan kewenangannya masing-masing. Sementara itu secara internal birokrasi, terbentuk pula lembaga-lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Pembangunan (Banwas) dan lain sebagainya. Dari segi instrument hukum terdapat sejumlah ketetapan undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, yang dibuat dalam rangka terwujudnya tata pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak tahun 1998 misalkan tercatat ada Tap MPR No XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ada juga UU No 28 /1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No 31 /1999 dan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Anti Korupsi), Inpres No 30 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat, UU No 30 /2002 Tentang Komisi Penyidik Tindak Pidana Korupsi (KPTKP) dan pembentukan Komisi Ombudsman. Ironisnya, banyaknya lembaga-lembaga internal dan produk hukum yang datang silih berganti, namun kebocoran dana pembangunan terus saja terjadi. Pemberantasan korupsi melalui proses hukum terhadap koruptor sebagaimana prioritas pemerintah pusat, belum maksimal dilakukan bila dibandingkan dengan jumlah kerugian negara akibat korupsi yang telah dikembalikan ke kas negara.
Selain tanggung jawab moral yang diembankan pada sejumlah lembaga di atas, dukungan dan partisipasi rakyat untuk melakukan pelaporan juga sangat berpengaruh terhadap berhasilnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menjadi masalah tentang keharusan partisipasi rakyat bila diperhadapkan pada organisasi kepemimpinan yang ditujukan oleh pejabat public (pusat atau daerah) yang tidak suka dikontrol. Kondisi semacam ini menyebabkan rakyat semakin berada di luar arena pemberantasan korupsi, karena setiap waktu dapat dituduh melakukan pencemaran nama baik.
Sistematis dan Kemitraan

Banyak bukti empiris dan konseptual yang meyakini bahwa transparansi dan akuntabilitas dapat mengurangi tindak pidana korupsi, sementara keterpaduan administrasi publik termasuk disiplin anggaran, pelaporan, dan penindakan merupakan unsur penting untuk mencapai tata pemerintahan yang baik. Oleh sebab itu semua lembaga pemerintahan seharusnya dirancang untuk mengurangi kesempatan praktek korupsi dan membuka peluang bagi keterpaduan kemitraan pemerintah dengan masyarakat.
Mengatasi sebuah masalah yang tergolong serius tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah. Demikian pula korupsi, sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),  membutuhkan penanganan yang sistematis dengan strategi yang tepat. Strategi anti korupsi dimaknai sebagai strategi yang terfokus pada sistem dan bukan pada manusia yang korup. Dengan lain perkataan, bila berbicara masalah strategi anti korupsi maka sebenarnya kita sedang berfikir mengenai sistem yang mudah dihinggapi bermacam kegiatan melanggar hukum. Oleh karena korupsi yang terjadi di Indonesia lahir karena sistem (birokrasi, hukum, pendidikan, dan lain-lain) yang dibuat membuka peluang tumbuh suburnya praktek korupsi, maka yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi adalah mengubah kebijakan dan sistem dari yang korup menjadi tidak korup.
Korupsi sistematis memerlukan pendekatan yang sistematis dan perubahan-perubahan radikal, misalnya dengan melakukan pemisahan kekuasaan, reformasi sistem peradilan, ada kontrol dan perimbangan, keterbukaan, dan lain-lain. Jadi, pembentukan lembaga anti korupsi yang baru seperti KPK dan Timtastipikor, pembentukan lembaga pengawas pemberantasan korupsi, pembentukan pengadilan khusus korupsi, penegakan hukum terhadap para koruptor tanpa pandang bulu, merevisi atau membuat peraturan perundang-undangan baru tentang pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya, hanyalah sebagian dari upaya pemberantasan korupsi yang menggunakan pendekatan sistematis.
Memberantas korupsi dengan pendekatan sistematis, semestinya juga menempatkan upaya perubahan mentalitas korupsi sebagai salah satu agenda prioritas, yakni dengan  membangun mentalitas anti korupsi (anti-corruption mentality) baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun lembaga-lembaga lain termasuk organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organizations).
Membangun mentalitas anti korupsi di kalangan multi-stakeholders merupakan strategi preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi. Perubahan mental perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menjamin agar perubahan sistem dilakukan oleh orang-orang yang memiliki mentalitas anti korupsi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem yang baik mustahil dapat dilahirkan bila tidak didahului dengan mentalitas yang baik dari para pembuatnya.
Membangun anti-corruption mentality bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan jauh lebih sulit dibanding melakukan tindakan represif terhadap para pelaku korupsi, karena hal ini berkaitan dengan perubahan cara pandang seseorang terhadap korupsi, dari yang positif menjadi negatif. Namun demikian, gagasan ini bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, sepanjang masih ada orang-orang bermentalitas anti korupsi yang memiliki komitmen dalam memberantas korupsi.
Penutup

Korupsi bukan sekedar tindak pidana yang merugikan negara secara finansial tetapi juga merupakan perampasan hak dasar bagi warga negara untuk mendapatkan jaminan kesejahteraan dan keadilan sosial dari negara. Dari perspektif ini maka penanggulangan masalah korupsi harus menyeluruh, konsisten, nyata, jelas, dan realistis. Gerakan anti korupsi harus memberikan ruang partisipasi masyarakat untuk memperluas kesadaran bahwa pencegahan korupsi dapat menyelamatkan bangsa dimasa depan dan mencegah terjadinya perpecahan dalam negara karena ketidakadilan. Budaya anti korupsi harus dilakukan dengan kesadaran kolektif tentang pentingnya membangun kebersamaan sebagai satu bangsa. Pemanfaatan kesempatan serta penyalahgunaan wewenang jabatan publik akan menimbulkan ketimpangan yang semakin jauh dari cita-cita keadilan sosial. Lemahnya ganjaran sosial (social funishment) bagi para pelaku korupsi hanya akan memberikan ruang pengakuan bahwa korupsi bukan persoalan masyarakat, tetapi semata-mata hanya kelalaian administrasi publik.anggapan semacam inilah yang tentu akan menumbuhsuburkan praktek penyimpangan korupsi dari generasi ke gemnerasi berikutnya. Padahal dalam jangka panjang korupsi mengecilkan arti demikrasi, merusak legitimasi pemerintah, menghancurkan pembangunan manusia bahkan secara moral menimbulkan kemerosotan dan membiarkan keberadaan kejahatan sistemik dalam negara kita. Peran serta masyarakat dalam membangun kemitraan dengan pemerintah menjadi unsur penting implementasi gerakan anti korupsi, disamping sikap keterbukaan aparat pemerintah sendiri sebagai bagian dari penerapan tata pemerintahan yang baik di Indonesia.

Andai pun upaya ini tidak bisa dijalankan oleh pemerintah, setidaknya kita masih memiliki banyak organisasi masyarakat sipil dan LSM serta tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tinggi dan komitmen dalam memerangi korupsi. Kelompok-kelompok dan individu-individu inilah yang diharapkan dapat menjadi teman penyeimbang (counterpart) bagi pemerintah dalam rangka membangun mentalitas anti korupsi, penegakan hukum dan pembenahan sistem terkait dengan pemberantasan korupsi. Semoga!

Waaluhhu`alam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggapan